BAB II
PEMBAHASAN
Berikut ini adalah pengertian perkawinan
menurut para ahli.
·
UU Perkawinan No.1 Tahun 1974
Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
·
Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 2
Perkawinan adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau untuk
mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.
·
Prof. Subekti, SH
Perkawinan adalah pertalian yang sah antara seorang laki-laki dengan
seorang perempuan untuk waktu yang lama.
- Bentuk Perkawinan Masyarakat Ternate
Perkawinan
Adat ialah suatu bentuk kebiasaan yang telah dilazimkan dalam suatu masyarakat
tertentu yang mengatur masalah-masalah yang berhubungan dengan pelaksanaan
suatu perkawinan baik secara seremonial maupun ritual menurut Hukum Adat
setempat. Perkawinan Adat di Ternate mengenal beberapa bentuk yang sejak dahulu
sudah dilazimkan dalam masyarakat dan telah berlangsung selama berabad-abad
hingga saat ini.
Bentuk-bentuk
perkawinan tersebut adalah :
1.
LAHI SE TAFO atau WOSA LAHI :Meminang/Kawin
Minta
2.
WOSA
SUBA : Kawin Sembah
3.
SICOHO : Kawin Tangkap
4.
KOFU’U : Dijodohkan
5.
MASIBIRI : Kawin Lari
6.
NGALI NGASU : Ganti Tiang
1.
Meminang atau Kawin Minta (Lahi se Tafo atau Wosa Lahi)
Lahi se Tafo atau meminang
merupakan bentuk perkawinan adat yang sangat populer dan dianggap paling ideal
bagi masyarakat setempat, karena selain berlaku dengan cara terhormat yakni
dengan perencanaan yang telah diatur secara matang dan didahului dengan
meminang juga karena dilakukan karena dilakukan menuruti ketentuan yang berlaku
umum di masyarakat dan juga dianggap paling sah menurut Hukum Adat.
Pelaksanaan
rukun nikah dilakukan menurut syariat Islam dan setelah itu dilaksanakan acara
; Makan Adat, Saro-Saro, Joko Kaha dan disertai dengan acara-acara seremonial
lainnya. Sebagian masyarakat Ternate memandang bahwa semakin megah dan meriah
pelaksanaan seremonial sebuah perkawinan, maka status/strata sosial dalam
masyarakat bisa terangkat.
2.
Kawin
Sembah (Wosa Suba)
Bentuk
perkawinan Wosa suba ini sebenarnya merupakan suatu bentuk penyimpangan dari
tata cara perkawinan adat dan hanya dapat disahkan dengan terlebih dahulu
membayar/melunasi denda yang disebut “Bobango”.
Perkawinan ini terjadi karena kemungkinan untuk menempuh cara meminang/wosa
lahi sangatlah sulit atau bahkan tidak bisa dilakukan karena faktor mas-kawin
ataupun ongkos perkawinan yang sangat mahal dsb.
Perkawinan bentuk Wosa Suba ini terdiri atas 3 cara, yakni :
Perkawinan bentuk Wosa Suba ini terdiri atas 3 cara, yakni :
1.
Toma Dudu Wosa Ino, Artinya dari luar (rumah) masuk ke dalam untuk menyerahkan diri ke dalam rumah si gadis,
dengan tujuan agar dikawinkan.
2. Toma Daha Wosa Ino, Artinya dari serambi masuk menyerahkan diri ke dalam rumah si gadis agar bisa dikawinkan.
3. Toma Daha Supu Ino, Artinya dari dalam kamar gadis keluar ke ruang tamu untuk menyerahkan diri untuk dikawinkan karena si pemuda telah berada terlebih dahulu di dalam rumah tanpa sepengatahuan orang tua si gadis.
2. Toma Daha Wosa Ino, Artinya dari serambi masuk menyerahkan diri ke dalam rumah si gadis agar bisa dikawinkan.
3. Toma Daha Supu Ino, Artinya dari dalam kamar gadis keluar ke ruang tamu untuk menyerahkan diri untuk dikawinkan karena si pemuda telah berada terlebih dahulu di dalam rumah tanpa sepengatahuan orang tua si gadis.
Bentuk
perkawinan “Wosa Suba” ini sudah jarang dilakukan oleh muda-mudi
Ternate saat ini karena mereka menganggap cara yang ditempuh dalam bentuk
perkawinan ini kurang terhormat dan menurunkan martabat keluarga pihak
laki-laki.
3.
Kawin
Tangkap (Sicoho)
Bentuk perkawinan ini sebenarnya hampir sama dengan cara ke tiga dari bentuk Wosa Suba di atas hanya saja kawin tangkap bisa saja terjadi di luar rumah, misalnya di tempat gelap dan sepi, berduaan serta berbuat diluar batas norma susila.
Bentuk perkawinan ini sebenarnya hampir sama dengan cara ke tiga dari bentuk Wosa Suba di atas hanya saja kawin tangkap bisa saja terjadi di luar rumah, misalnya di tempat gelap dan sepi, berduaan serta berbuat diluar batas norma susila.
Dalam
kasus seperti ini, keluarga pihak gadis menurut adat tidak dibenarkan melakukan
tindak kekerasan atau penganiyaan terhadap si pemuda walaupun dalam keadaan
tertangkap basah. Maka untuk menjaga nama baik anak gadis dan keluarganya
terpaksalah mereka dikawinkan juga menurut hukum adat secara islam yang berlaku
pada masyarakat Ternate.
Perkawinan
bentuk ini dianggap sah menurut adat apabila si pemuda atau pihak keluarga
laki-laki terlebih dahulu meminta maaf atas perbuatan anaknya terhadap keluarga
si gadis dan membayar denda (Bobango) kepada keluarga si gadis. Bentuk perkawinan
ini masih sering ditemui di Ternate.
4.
Dijodohkan (Kofu’u)
Bentuk perkawinan ini terjadi apabila telah terlebih dahulu terjadi kesepakatan antara orang tua atau kerabat dekat dari masing-masing kedua belah pihak untuk mengawinkan kedua anak mereka.
Bentuk perkawinan ini terjadi apabila telah terlebih dahulu terjadi kesepakatan antara orang tua atau kerabat dekat dari masing-masing kedua belah pihak untuk mengawinkan kedua anak mereka.
Bentuk
perkawinan dijodohkan ini tidak terlalu jauh berbeda dengan daerah-daerah lain
di Indonesia, hanya saja perbedaan yang paling prinsipil adalah; Kalau di
Ternate, terjadi antara anak-anak yang bapaknya bersaudara dekat/jauh atau
ibunya bersaudara dekat/jauh. Kebanyakan bentuk perkawinan ini tidak disetujui
oleh anak muda jaman sekarang sehingga jalan yang mereka tempuh adalah bentuk “Masibiri”
atau Kawin Lari. Bentuk perkawinan Kofu’u ini sudah jarang terjadi dalam
masyarakat Ternate.
5. Kawin Lari (Masibiri)
Perkawinan bentuk ini adalah cara yang ditempuh sebagai usaha terakhir karena jalan lain tidak memungkinkan atau tidak ada. Faktor-faktor yang mendorong terjadinya Kawin Lari diantaranya karena orang tua tidak menyetujui, menghindari biaya perkawinan yang sangat tinggi, pihak laki-laki tidak mampu untuk melaksanakan cara meminang atau juga karena mereka berlainan rumpun marga dalam kelompok yang tidak boleh menikah.
Bentuk perkawinan ini ditempuh dan dapat terjadi karena pihak keluarga si pemuda adalah berasal dari strata bawah atau terlalu miskin untuk mampu melaksanakan cara meminang. Masyarakat Ternate menganggap bahwa bentuk Kawin Lari merupakan pintu darurat yang ditempuh oleh si pemuda. Kaum muda mudi di Ternate jaman sekarang menyebutnya dengan istilah plesetan “Kawin Cowboy”.
Konsekwensi adat yang dipikul akibat perkawinan ini sudah dipikirkan matang-matang oleh pasangan kedua remaja tersebut. Walaupun perkawinan ini dilakukan secara darurat (kebanyakan dilaksanakan di rumah penghulu) namun tetap dianggap sah menurut hukum adat karena tata cara perkawinan dilaksanakan menurut rukun nikah secara Islam.
Biasanya yang bertindak sebagai wali adalah “Wali Hakim Syari’at”. Karena biasanya orang tua si gadis tidak bersedia menjadi wali nikah. Pada umumnya si gadis lari/kabur dari rumah orang tuanya dan menuju ke rumah petugas/pejabat nikah (Hakim Syari’at), ia langsung diterima oleh isteri pejabat Haki Syari’at tersebut dan diperkenankan untuk tinggal beberapa hari. Setelah petugas memberitahukan kepada orang tuanya bahwa anak gadisnya sekarang berada di rumahnya.
Perkawinan bentuk ini adalah cara yang ditempuh sebagai usaha terakhir karena jalan lain tidak memungkinkan atau tidak ada. Faktor-faktor yang mendorong terjadinya Kawin Lari diantaranya karena orang tua tidak menyetujui, menghindari biaya perkawinan yang sangat tinggi, pihak laki-laki tidak mampu untuk melaksanakan cara meminang atau juga karena mereka berlainan rumpun marga dalam kelompok yang tidak boleh menikah.
Bentuk perkawinan ini ditempuh dan dapat terjadi karena pihak keluarga si pemuda adalah berasal dari strata bawah atau terlalu miskin untuk mampu melaksanakan cara meminang. Masyarakat Ternate menganggap bahwa bentuk Kawin Lari merupakan pintu darurat yang ditempuh oleh si pemuda. Kaum muda mudi di Ternate jaman sekarang menyebutnya dengan istilah plesetan “Kawin Cowboy”.
Konsekwensi adat yang dipikul akibat perkawinan ini sudah dipikirkan matang-matang oleh pasangan kedua remaja tersebut. Walaupun perkawinan ini dilakukan secara darurat (kebanyakan dilaksanakan di rumah penghulu) namun tetap dianggap sah menurut hukum adat karena tata cara perkawinan dilaksanakan menurut rukun nikah secara Islam.
Biasanya yang bertindak sebagai wali adalah “Wali Hakim Syari’at”. Karena biasanya orang tua si gadis tidak bersedia menjadi wali nikah. Pada umumnya si gadis lari/kabur dari rumah orang tuanya dan menuju ke rumah petugas/pejabat nikah (Hakim Syari’at), ia langsung diterima oleh isteri pejabat Haki Syari’at tersebut dan diperkenankan untuk tinggal beberapa hari. Setelah petugas memberitahukan kepada orang tuanya bahwa anak gadisnya sekarang berada di rumahnya.
Biasanya orang tua si gadis menyerahakan wali
dan pelaksanaan perkawinan darurat ini kepada petugas Hakim Syari’at untuk
mengurusnya. Bentuk
perkawinan Masibiri ini hingga saat ini masih banyak ditempuh oleh anak muda
Ternate yang mengambil jalan pintas untuk berumah tangga bila tidak direstui
oleh orang tuanya.
6. Ganti Tiang (Ngali Ngasu)
Bentuk perkawinan ini walaupun menjadi salah satu jenis dalam perkawinan adat di Ternate namun jarang sekali terjadi. Bentuk perkawinan Ngali Ngasu ini terjadi apabila salah satu dari pasangan suami isteri yang isterinya atau suaminya meninggal dunia maka yang menggantikannya adalah iparnya sendiri, yaitu kakak atau adik dari si istri atau kakak atau adik dari si suami.
Bentuk penggantian peran dimaksud dalam jenis perkawinan ini dilakukan dengan cara mengawini iparnya sendiri demi kelangsungan rumah tangganya agar tidak jatuh ke tangan pihak lain.
Perkawinan semacam ini bagi masyarakat adat di pulau Jawa dikenal dengan istilah “Turun Ranjang”. Namun karena perkembangan pola pemikiran dan perkembangan jaman mengakibatkan bentuk perkawinan sudah hampir tidak pernah terjadi lagi di Ternate.
Bentuk perkawinan ini walaupun menjadi salah satu jenis dalam perkawinan adat di Ternate namun jarang sekali terjadi. Bentuk perkawinan Ngali Ngasu ini terjadi apabila salah satu dari pasangan suami isteri yang isterinya atau suaminya meninggal dunia maka yang menggantikannya adalah iparnya sendiri, yaitu kakak atau adik dari si istri atau kakak atau adik dari si suami.
Bentuk penggantian peran dimaksud dalam jenis perkawinan ini dilakukan dengan cara mengawini iparnya sendiri demi kelangsungan rumah tangganya agar tidak jatuh ke tangan pihak lain.
Perkawinan semacam ini bagi masyarakat adat di pulau Jawa dikenal dengan istilah “Turun Ranjang”. Namun karena perkembangan pola pemikiran dan perkembangan jaman mengakibatkan bentuk perkawinan sudah hampir tidak pernah terjadi lagi di Ternate.
- Upacara Perkawinan
Ø Sigado Salam
Proses tata cara perkawinan adat Ternate diawali dengan menyampaikan
salam atau dalam bahasa Ternate disebut Sigado Salam. Salam dimaksud
disampaikan dari pihak keluarga calon mempelai laki-laki kepada pihak keluarga
calon mempelai perempuan. Disaat sigado salam dari pihak laki-laki yang
biasanya diwakili oleh anggota keluarga tertua atau pemangku adat sebagai
utusan dengan maksud sehari dua pihak keluarga mempelai laki-laki dalam satu
waktu atau dua hari nanti akan datang bertamu ke rumah mempelai
perempuan.Setelah mendengar salam yang disampaikan dari utusan mempelai
laki-laki, maka dengan rasa hormat dari pihak mempelai perempuan menyambut
salam dari utusan mempelai laki-laki bahwa salam mereka telah terima.
Ø Wosa Lahi
Setelah melalui proses Sigado Salam maka pihak mempelai laki-laki melakukan
persiapan pada acara Masuk Minta
atau Wosa Lahi. Makna wosa lahi atau masuk minta secara harfiah berarti
melamar.meminang. Lamaran dilakukan oleh pihak laki-laki dengan mengutus
sesepuh atau keluarga tertua atau kerabat yang memiliki ikatan keluarga yang
diserahi tugas sebagai utusan, utusan ini dalam bahasa Ternate disebut dengan Baba
Se Ema Yaya Se Goa. Setelah tiba pada hari yang telah ditentukan¸utusan Baba
Se Ema Yaya Se Goa dari keluarga mempelai laki-laki menuju ke rumah calon
mempelai perempuan. Maka dari pihak mempelai perempuan dengan kabasaran
mengangkat Subah (salam) untuk menerima kehadiran utusan Baba Se Ema Yaya Se
Goa dari mempelai laki-laki, sebelum mengadakan kesepakatan, pihak mempelai
perempuan menyuguhkan pinang dan
sirih yang melambangkan ikatan
keharmonisan dan saling menghargai dari kedua keluarga tersebut. Setelah
upacara makan pinang dan sirih, utusan Baba Se Ema Yaya Se Goa dari
pihak laki-laki menyampaikan maksud kedatangannya. Yaitu meminang salah satu
anak perempuan dari keluarga tersebut. Sekaligus mohon penjelasan
dan jawaban dari pihak calon mempelai perempuan. Setelah mendengar maksud
kedatangan utusan pihak tersebut pihak keluarga calon mempelai perempuan yang
menyetujui dan merestui maksud dan tujuan utusan Baba Se Ema Yaya Se Goa,
secara bersama-sama menentukan waktu untuk antar belanja atau yang
dikenal dalam bahasa Ternate disebut harga pinang dan sirih, serta
penentuan hari dan bulan perkawinannya.
Ø Kata Bido Se Hana Ma Ija
Mengantarkan belanja dalam bahasa Ternate kata bido se dufahe maija dari utusan calon mempelai laki-laki
kepada pihak keluarga calon mempelai perempuan disaat prosesi masuk minta atau wosa lahi. Antar belanja atau kato bido se hena maija yang dilakukan
oleh baba se ema yaya segoa dari
utusan calon mempelai laki-laki, dengan mengandung makna bahwa bido sedufahe
maija merupakan permintaan dari pihak mempelai wanita yang menyangkut dengan
kebutuhan dalam prosesi perkawinan dengan segala macam perjanjian yang harus
dipenuhi oleh pihak mempelai laki-laki menjelang upacara perkawinan.
Ø Fere Wadaka
Setelah mengantarkan belanja maka proses perkawinan diawali dengan upacara
naik wadaka atau dalam bahasa Ternate disebut Fere Wadaka. Fere Wadaka secara harfiah memiliki
makna bahwa sebelum dilangsungkan acara perkawinan maka calon pengantin
utamanya mempelai perempuan melakukan tapak diri (naik lulur) yakni calon
pengantin dipingit beberapa hari dalam kamarnya sambil dilulur dengan bedak
tradisional, kemudian dilakukan pensucian diri hingga tibanya acara kata rorio
yaya segoa.
Ø Kata Rorio/Yaya Segoa
Kata rorio yaya segoa dilakukan
pada malam hari menjelang hari pernikahan, acara ini dihadiri oleh keluarga
dari kedua mempelai, kerabat dan handaitolan dengan maksud menjenguk dan
memberikan restu atas kelangsungan pernikahan dari mempelai dengan membawa
bantuan apa adanya sesuai dengan kemampuan masing-masing. Makna yang terselip
pada acara kata rorio yaya segoa adalah memeperat tali silaturahmi atau sidoa
gia yang tulus tanpa paksaan dari keluarga dan handaitolan.
Ø Hodo Jako
Hodo jako atau mandi dari tiga tabung bambu
dilakukan pada waktu subuh menjelang hari pernikahan, sebelum mandi jako
dilakukan mempelai telah melakukan naik wadaka terlebih dahulu dengan
melulurkan seluruh tubuh dengan bedak tradisional yang diakhiri dengan mandi
jako, dengan menggunakan lesa-lesa (piring
besar), daun pohon bulah yang yang melambangkan mahligai rumah tangga, hate jwa dan kano-kano (sejenis ilalang besar) yang melambangkan kesuburan rumah
tangga yang akan dibangun, mayang pinang yang melambangkan kehidupan rumah
tangga yang utuh seperti tangkai mayang dan buah kelapa melambangkan pengertian
bersama dari kedua suami istri dalam mengarungi bahtera rumah tangga serta tiga
buah tabung bambu, dari sumber mata air yang berbeda yang melambangkan
kepatuhan dan pengabdian kita kepada sang pencipta, agama dan penuh rasa
kemanusiaan.
Ø
Upacara Ijab Kabul
Upacara ini dilangsungkan di kediaman mempelai pria, yang sudah mengenakan
pakaian pengantin secara lengkap yaitu destar, jubah, dan gamis, dlengkapi
dengan keris yang diselipkan di pinggang bagian depan. Disesuaikan dengan
perubahan zaman, pengantin pria sekarang mengenakan selop sebagai alas kaki.
Sedangkan pengantin wanita yang tinggal di rumahnya sendiri memakai koci-koci,
terdiri dari pasangan sarung dan semacam baju kurung yang diberi ikat pinggang,
berselendang dan di bagian lehernya dihiasi semacam penutup yang melingkar
menutupi pundak hingga punggung. Ditinjau dari bentuk hiasan kepalanya, dapat
dikatakan bahwa hal ini sudah dipengaruhi oleh kebudayaan cina. Jenis pakaian
pengantin yang dikenakan pada asal mulanya ditentukan oleh tingkatan derajat dari
pengantin. Namun tentu saja peraturan semacam ini sudah tidak berlaku lagi.
Setiap pasangan yang akan menikah berhak untuk memilih jenis pakaian yang akan
mereka kenakan sesuai selera mereka masing-masing. Usai upacara ijab kabul,
kedua mempelai diantar ke rumah mempelai wanita oleh kerabat, handai tolan dan
teman-teman dekat pria maupun wanita. Dan pada kesempatan ini pihak keluarga
mempelai pria membawa hantaran peralatan adat yang disebut ngale-ngale yang dimaksudkan sebagai barang-barang persembahan bagi
mempelai wanita (semacam upacara seserahan dalam adat Sunda) yang terdiri dari :
♪ Kai Ma Ija (mas kawin) berupa sejumlah uang atau seperti
yang telah disepakati sebelumnya oleh kedua belah pihak) dibungkus kantung
putih yang dijahit rapat, diibaratkan sebagai kemurnian kehormatan mempelai
wanita. Kemudian kantung berisi uang tersebut dimasukkan dalam kotak yang
dilapis kain putih, melambangkan bahwa mempelai wanita berasal dari naungan
keluarga baik-baik. Pembawa kotak berisikan uang yang diletakkan di atas baki
dengan penutup kain sutera ini adalah seorang gadis kecil yang didandani dengan
pakaian adat.
♪ Gogoro Ma Pake yaitu baki
yang diisi dengan perlengkapan wanita dan perhiasannya antara lain 1 helai kain
sutera, 1 helai kebaya sutera, 1 helai kerudung putih, 1 set perhiasan dari
emas atau perak (giwang, kalung, cincin, bros dan lain-lain). Juga kini
dilengkapi dengan sepasang selop.
♪ Kaha Ma Jojobo, yang terdiri dari: 1 rumpun rumput fartogu dengans edikit tanahnya, 1
botol (carrave) air murni (dari sumur), sebuah piring dari beling berwarna
putih berisikan segenggam beras yang telah diberi warna kuning, putih, dan
merah (beras populak), yang berarti adanya umat manusia yang beraneka
warna/ragam, bunga dari lilin yang berarti sinar kasih abadi atau yang dimaksud
sebagai lambang penerangan abadi dalam hidup kedua mempelai. Semua
barang ini pun diletakkan diatas baki.
Setelah iring-iringan mempelai pria tiba di
depan rumah mempelai wanita, dimulai pula rangkaian upacara selanjutnya yang
disebut:
- Gere Se Doniru yang diawali dengan: Upacara yang dilangsungkan begitu iringan mempelai pria tiba di pintu depan rumah dan pintu kamar mempelai wanita yang dihalangi oleh beberapa pemuda pemudi yang disebut Fati Ngara yang harus di "bujuk" dengan "ngara mo ngoi" taburan uang receh sesuai dengan kemampuan oleh pemuda pemudi pengiring mempelai pria, kepada Fati Ngara agar mereka berkenan membukakan pintu rumah mempelai wanita. hal yang sama akan diulang lagi di muka pintu pintu kamar mempelai wanita.
Jika mempelai pria beserta rombongan berhasil melalui kedua pintu tadi,
maka mereka akan tiba dimuka mempelai wanita yang didudukkan di pelaminan
dengan bertiraikan kelambu. Kelambu baru akan dibuka setelah iringan mempelai
pria menaburkan uang receh yang disebut "Guba Ma Ngoi".
Upacara memberi uang dilaksanakan kembali pada waktu mempelai pria akan
membuka kukudu (penutup kepala)
mempelai wanita, dan upacara ini disebut Ngongoma
Bubi. Dilanjutkan pengusapan ubun-ubun mempelai wanita, dengan telapak
tangan kanan mempelai pria lambang tanda penerimaan yang sah dari suami
terhadap istrinya. Arti lain dari gerakan ini adalah saling membatalkan
"wudhu" yang dilakukan kedua mempelai guna melakukan shalat, sebelum
upacara pernikahan dilangsungkan. Kemudian disambungkan dengan mendudukan
mempelai pria di sebelah kiri wanitanya, sehingga kedua sejoli duduk
berdampingan. Sesudah itu keris yang terselip di pinggang pria diambil dan
dihunus dari sarungnya. Sarung keris diletakkan di pangkuan mempelai wanita
dengan tangan kirinya tetap menggenggamnya, sedang tangan kanan menggenggam
hulu keris yang diletakkan di pangkuannya sendiri. Tindakan ini melambangkan
penyerahan jiwa untuk sehidup semati dari kedua belah pihak.
b.
Paha Ngomgoma
Setelah melewati tradisi fati ngara
pihak mempelai laki-laki memasuki kamar mempelai wanita sekedar meletakkan
tangan di atas ubun mempelai wanita yang memiliki makna bahwa mempelai pria dan
wanita dengan sah menjadi suami istri, kemudian dilanjutkan dengan pemberian
mas kawin oleh pihak mempelai laki-laki kepada mempelai wanita. Acara ini
kemudian dilanjutkan dengan upacara joko
kaha dengan mempergunakan rumput fartagu yang terletak di atas sebuah
piring yang melambangkan kehidupan dan kebahagian yang akan dijamah oleh kedua
mempelai, sedangkan sebotol air yang disiram pada kedua kaki mempelai yang
melambangkan keteduhan dan kesejukan kehidupan yang menjadi sandaran bagi kedua
mempelai dan pupulak yang terdiri
dari beras kuning, beras merah dan beras hijau melambangkan bermacam-macam suku
yang menjadi sahabat dan kenalan bagi kedua mempelai.
c.
Suba Yaya
Baba
Setelah melakukan paha ngoma dan penyerahan mas kawin kedua mempelai
melakukan subah yaya se baba yaitu
melakukan sembah sujud kepada kedua orang tua sekaligus melepaskan tanggung
jawab orang tua terhadap anaknya dalam mengarungi bahtera rumah tangga mereka.
d.
Saro-saro
Acara tradisi perkawinan Ternate yang sangat menarik perhatian adalah
upacara Saro-saro upacara
yang dilakukan oleh ibu-ibu atau yang dikenal dengan yaya segoa. Setelah kedua mempelai menjalani prosesi pernikahan
kemudian menempati tempat yang telah disediakan untuk upacara saro-saro, upacara ini diawali dengan
subah (salam) dari kedua mempelai kemudian dilanjutkan dengan upacara saro yang
diawali dengan saro srikaya yang melambangkan budi pekerti yang harus
ditunjukan oleh kedua mempelai, saro nanas yang melambangkan kesetiaan sang
istri terhadap suami, dan saro kobo yang melambangkan sifat suami yang
bertanggung jawab terhadap rumah tangga. Acara saro-saro ini merupakan bentuk
doa atau permintaan yang sifatnya ritual dengan makna yang filosofis mengandung
symbol dalam bentuk pangan atau dalam bahasa Ternate disebut ngale secara
yang disuguhkan kepada kedua mempelai dengan ciri khas dan sifat-sifat yang
melekat pada diri manusia dan alam sekitarnya. Saro-saro merupakan tradisi
perkawinan yang dilakukan secara turun temurun oleh masyarakat.
e.
Ngogu Adat
Ngogu adat atau makanan adat ini disuguhkan
pada acara perkawinan masyarakat yang merupakan ungkapan rasa syukur dalam
bentuk cara sengale dalam pelaksanaan hajatan perkawinan. Makanan adat
Ternate yang kita kenal saat ini dibagi dalam dua bentuk yaitu Dodego nunau
I yaya segoa dan Dodego foheka mi yaya segoa. Kedua bentuk tersebut
pada prinsipnya memiliki makna yang sama akan tetapi secara harfiah makna
sesungguhnya dari dodego foheka mi yaya
segoa adalah melakukan saro-saro
dari kedua mempelai sedangkan dodego
nanau I yaya segoa yang terdiri dari para pemangkut adat, imam, tokoh
agama, tokoh masyarakat, dan para undangan yang menerima salam atau koro
bersama-sama membacakan doa dan dilanjutkan dengan suguhan makanan adat. Upacara ini dimulai dengan mempersilahkan tetua keluarga dan tamu-tamu
kehormatan untuk duduk bersama kedua mempelai di meja makan perhelatan yang di
atasnya telah dihidangkan Jaha se-kusuang
yang ditata berderet sepanjang meja,
yang terdiri dari sepuluh potong nasi jaha atau pali-pali yang melambangkan armada laut (juwanga), dada atau kukusang (nasi tumpeng) demokrasi dan kesatuan, ikan dan terong melambangkan cing se cingare (kehidupan lelaki dan perempuan), gulai melambangkan kekayaan laut dan daratan, bubur kacang hijau melambangkan kesuburan dan kemakmuran srikaya melambangkan budi pekerti dan tata karma masyarakat Ternate dan empat buah boboto melambangkan kekuatan empat momole.Dari sajian makan adat tersebut pada umumnya disajikan dalam satu paket atau dalam bahasa Ternate disebut ngogu rimoi dibagi empat orang gogoro(undangan) yang hadir mengikuti upacara tersebut. Prosesi perkawinan adat Ternate yang dilakukan secara turun temurun, yang tetap lestari dan hidup di masyarakat merupakan nilai budaya daerah yang perlu dijaga keutuhannya sebab nilai budaya daerah merupakan aset budaya bangsa.
yang terdiri dari sepuluh potong nasi jaha atau pali-pali yang melambangkan armada laut (juwanga), dada atau kukusang (nasi tumpeng) demokrasi dan kesatuan, ikan dan terong melambangkan cing se cingare (kehidupan lelaki dan perempuan), gulai melambangkan kekayaan laut dan daratan, bubur kacang hijau melambangkan kesuburan dan kemakmuran srikaya melambangkan budi pekerti dan tata karma masyarakat Ternate dan empat buah boboto melambangkan kekuatan empat momole.Dari sajian makan adat tersebut pada umumnya disajikan dalam satu paket atau dalam bahasa Ternate disebut ngogu rimoi dibagi empat orang gogoro(undangan) yang hadir mengikuti upacara tersebut. Prosesi perkawinan adat Ternate yang dilakukan secara turun temurun, yang tetap lestari dan hidup di masyarakat merupakan nilai budaya daerah yang perlu dijaga keutuhannya sebab nilai budaya daerah merupakan aset budaya bangsa.
f.
Upacara Suba
Kie Se Kolano
Dilakukan dengan menghadapkan kedua mempelai ke empat penjuru: Barat,
Timur, Utara dan Selatan sebagai tanda penghormatan kepada kolano negeri dan
sumber angin. Setelah upacara-upacara adat selesai, tamu dipersilakan makan,
lalu acara berlanjut dengan menari bersama diiringi musik tradisional dan
nyanyian rakyat Maluku Utara yang bernada gembira. Para tamu yang hadir
dalam acara ini turut pula berpartisipasi.
BAB III
PENUTUP
- Kesimpulan
Sistem Kekerabatan pada masyarakat Ternate
Pola menetap masyarakat
Ternate adalah Patrilokal dimana, si Istri tinggal di rumah orang tua suami.
Dengan demikian garis keturunan masyarakat Ternate adalah Patrilineal.
Bride Price yang diberikan oleh mempelai
pria, oleh masyarakat Ternate biasa disebut dengan Kai Ma Ija yang berupa uang yang telah disepakati sebelumnya yang
dibungkus dengan kain putih yang dijahit tertutup. Gogoro Ma Pake berupa perlengkapan wanita dan perhiasan.
Batasan pemilihan jodoh
masyarakat Ternate adalah Exogami marga. Dimana seseorang tidak boleh menikah
dengan orang yang memiliki marga yang sama.
Solidaritas Sosial
Terdapat beberapa tradisi lama yang sifatnya positif terus
dipertahankan oleh masyarakat Ternate, terutama menyangkut kehidupan sosial
berupa tradisi gotong royong yang dikenal dengan tradisi “Bari” ataupun “Lian”,
termasuk tradisi saat hari meninggalnya seseorang. Tradisi Pada Saat Hari
Kematian Seseorang Dalam kehidupan masyarakat Ternate, bila ada salah satu
warga masyarakat yang meninggal dunia, biasanya dikabarkan dari mulut ke mulut
kepada keluarga, saudara dan kerabat. Setelah
mendengar berita duka, warga masyarakat mulai berdatangan ke rumah duka,
terutama wargaa di kampung tersebut berbondong-bondong berkumpul. Kegiatan
pertama yang biasanya dilakukan adalah menyiapkan tenda yang dalam bahasa
Ternate disebut “Sabua” di depan dan di belakang rumah duka.
Sementara warga yang lainnya menyiapkan liang kubur.
Sedangkan kesibukan dalam rumah duka sendiri adalah menyiapkan kebutuhan untuk
pemakaman seperti ; kain kafan, peralatan memandikan mayat, serta kebutuhan
lain yang berhubungan dengan pemakaman. Sementara itu, kaum ibu-ibu datang
membawa sembako seadanya untuk disumbangkan ke rumah duka yang akan dijadikan
bahan baku konsumsi, berupa; beras, terigu, gula pasir, teh, dsb. Kaum ibu-ibu
biasanya saat datang mulai menyiapkan dan membentuk semacam dapur umum di
belakang rumah duka, bahkan di rumah tetangga kiri dan kanan untuk menyiapkan
makan semua pelayat yang datang pada saat itu untuk makan setelah selesai
upacara pemakaman.
Stratifikasi
Sosial Masyarakat Ternate
Pada zaman dahulu kala, tepatnya zaman kerajaan atau
kesultanan Ternate terisi atas beberapa strata social. Terbagi berdasarkan
ketururan tapi tidak menentukan kasta seseorang sehingga tidak bersifat
fungsional diantaranya :
1. Golongan Jou
Yaitu golongan isatana, yang terdiri dari sultan dan keluarganya, sampai tiga turunan satu garis lurus langsung. Sebutan terhadap kedua golongan ini, misalnya: JOU KOLANO (yang mulia sultan), dengan nama kebesaran. Sedangkan sebutan ubtuk Permaisuri Sultan: JO-BOKI (singkatan dari kata JOU MA-BOKI), sebutan untuk anak putra sultan : KAICILI PUTRA, dan BOKI PUTRI (putrid sultan). Keraton kesultanan Ternate adalah tempat tinggal mereka. Golongan Jou memakai penuttup kepala berwarna Putih, hanya dipakai oleh golongan Jou TUALA BUBUDO.
2. Golongan Dano
Yaitu golongan keluarga cucu sultan dan anak anak yang dilahirkan dari Putri Sultan dengan orang dari luar lingkungan istana atau golongan masyarakat biasa, juga termasuk keturunan dari kanak kanak maupun adik kandung sang Sultan. Penutup kepalanya – Pejabat Kesultanan (KAPITA/FABYIRA).
3. Golongan Bala
Golongan ini sering disebut dengan (BALA KUSUSEKANOKANO), yaitu mereka yang berada di luar kedua golongan diatas (raknyat biasa). Penutup kepala khasnya adalah TUALA KURCACI.
Tidak menutup kemungkinan rakyat biasa dapat ikit serta dalam jabatan jabatan tinggi misalnya Kepala adat.
1. Golongan Jou
Yaitu golongan isatana, yang terdiri dari sultan dan keluarganya, sampai tiga turunan satu garis lurus langsung. Sebutan terhadap kedua golongan ini, misalnya: JOU KOLANO (yang mulia sultan), dengan nama kebesaran. Sedangkan sebutan ubtuk Permaisuri Sultan: JO-BOKI (singkatan dari kata JOU MA-BOKI), sebutan untuk anak putra sultan : KAICILI PUTRA, dan BOKI PUTRI (putrid sultan). Keraton kesultanan Ternate adalah tempat tinggal mereka. Golongan Jou memakai penuttup kepala berwarna Putih, hanya dipakai oleh golongan Jou TUALA BUBUDO.
2. Golongan Dano
Yaitu golongan keluarga cucu sultan dan anak anak yang dilahirkan dari Putri Sultan dengan orang dari luar lingkungan istana atau golongan masyarakat biasa, juga termasuk keturunan dari kanak kanak maupun adik kandung sang Sultan. Penutup kepalanya – Pejabat Kesultanan (KAPITA/FABYIRA).
3. Golongan Bala
Golongan ini sering disebut dengan (BALA KUSUSEKANOKANO), yaitu mereka yang berada di luar kedua golongan diatas (raknyat biasa). Penutup kepala khasnya adalah TUALA KURCACI.
Tidak menutup kemungkinan rakyat biasa dapat ikit serta dalam jabatan jabatan tinggi misalnya Kepala adat.
- Kritik dan Saran
DAFTAR PUSTAKA
Internet :
http://ternate.wordpress.com/2007/11/14/bentuk-perkawinan-adat-di-ternate/#more-38,
diakses pada tanggal 8 Desember 2013.
http://ternate.wordpress.com/2007/06/08/makna-filosofis-saro-saro-joko-kaha-dan-makan-ada/#more-5, diakses pada tanggal 8 Desember 2013.
http://nikahdisurabaya.com/index.php/upacara-pernikahan-adat-maluku-utara.html, diakses pada tanggal 9 Desember 2013.
http://www.anneahira.com/adat-istiadat-maluku.htm, diakses pada tanggal 10 Desember
2013.