Minggu, 02 November 2014

Perkawinan pada masyarakat Ternate



BAB II
PEMBAHASAN

  1.  Pengertian Perkawinan

Berikut ini adalah pengertian perkawinan menurut para ahli.
·         UU Perkawinan No.1 Tahun 1974
Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

·         Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 2
Perkawinan adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.

·         Prof. Subekti, SH
Perkawinan adalah pertalian yang sah antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk waktu yang lama.

  1. Bentuk Perkawinan Masyarakat Ternate
Perkawinan Adat ialah suatu bentuk kebiasaan yang telah dilazimkan dalam suatu masyarakat tertentu yang mengatur masalah-masalah yang berhubungan dengan pelaksanaan suatu perkawinan baik secara seremonial maupun ritual menurut Hukum Adat setempat. Perkawinan Adat di Ternate mengenal beberapa bentuk yang sejak dahulu sudah dilazimkan dalam masyarakat dan telah berlangsung selama berabad-abad hingga saat ini.
Bentuk-bentuk perkawinan tersebut adalah :
1.      LAHI SE TAFO atau WOSA LAHI  :Meminang/Kawin Minta
2.       WOSA SUBA : Kawin Sembah
3.      SICOHO : Kawin Tangkap
4.      KOFU’U : Dijodohkan
5.      MASIBIRI : Kawin Lari
6.      NGALI NGASU : Ganti Tiang
1.      Meminang atau Kawin Minta (Lahi se Tafo atau Wosa Lahi)
Lahi se Tafo atau meminang merupakan bentuk perkawinan adat yang sangat populer dan dianggap paling ideal bagi masyarakat setempat, karena selain berlaku dengan cara terhormat yakni dengan perencanaan yang telah diatur secara matang dan didahului dengan meminang juga karena dilakukan karena dilakukan menuruti ketentuan yang berlaku umum di masyarakat dan juga dianggap paling sah menurut Hukum Adat.
Pelaksanaan rukun nikah dilakukan menurut syariat Islam dan setelah itu dilaksanakan acara ; Makan Adat, Saro-Saro, Joko Kaha dan disertai dengan acara-acara seremonial lainnya. Sebagian masyarakat Ternate memandang bahwa semakin megah dan meriah pelaksanaan seremonial sebuah perkawinan, maka status/strata sosial dalam masyarakat bisa terangkat.
2.      Kawin Sembah (Wosa Suba)
Bentuk perkawinan Wosa suba ini sebenarnya merupakan suatu bentuk penyimpangan dari tata cara perkawinan adat dan hanya dapat disahkan dengan terlebih dahulu membayar/melunasi denda yang disebut “Bobango”. Perkawinan ini terjadi karena kemungkinan untuk menempuh cara meminang/wosa lahi sangatlah sulit atau bahkan tidak bisa dilakukan karena faktor mas-kawin ataupun ongkos perkawinan yang sangat mahal dsb.

            Perkawinan bentuk Wosa Suba ini terdiri atas 3 cara, yakni :
1.      Toma Dudu Wosa Ino, Artinya dari luar (rumah) masuk ke dalam untuk  menyerahkan diri ke dalam rumah si gadis, dengan tujuan agar dikawinkan.

2. Toma Daha Wosa Ino, Artinya dari serambi masuk menyerahkan diri ke dalam rumah si gadis agar bisa dikawinkan.

3. Toma Daha Supu Ino, Artinya dari dalam kamar gadis keluar ke ruang tamu untuk menyerahkan diri untuk dikawinkan karena si pemuda telah berada terlebih dahulu di dalam rumah tanpa sepengatahuan orang tua si gadis.
Bentuk perkawinan “Wosa Suba” ini sudah jarang dilakukan oleh muda-mudi Ternate saat ini karena mereka menganggap cara yang ditempuh dalam bentuk perkawinan ini kurang terhormat dan menurunkan martabat keluarga pihak laki-laki.

3.      Kawin Tangkap (Sicoho)

            Bentuk perkawinan ini sebenarnya hampir sama dengan cara ke tiga dari bentuk Wosa Suba di atas hanya saja kawin tangkap bisa saja terjadi di luar rumah, misalnya di tempat gelap dan sepi, berduaan serta berbuat diluar batas norma susila.
Dalam kasus seperti ini, keluarga pihak gadis menurut adat tidak dibenarkan melakukan tindak kekerasan atau penganiyaan terhadap si pemuda walaupun dalam keadaan tertangkap basah. Maka untuk menjaga nama baik anak gadis dan keluarganya terpaksalah mereka dikawinkan juga menurut hukum adat secara islam yang berlaku pada masyarakat Ternate.
Perkawinan bentuk ini dianggap sah menurut adat apabila si pemuda atau pihak keluarga laki-laki terlebih dahulu meminta maaf atas perbuatan anaknya terhadap keluarga si gadis dan membayar denda (Bobango) kepada keluarga si gadis. Bentuk perkawinan ini masih sering ditemui di Ternate.


4.      Dijodohkan (Kofu’u)

            Bentuk perkawinan ini terjadi apabila telah terlebih dahulu terjadi kesepakatan antara orang tua atau kerabat dekat dari masing-masing kedua belah pihak untuk mengawinkan kedua anak mereka.
Bentuk perkawinan dijodohkan ini tidak terlalu jauh berbeda dengan daerah-daerah lain di Indonesia, hanya saja perbedaan yang paling prinsipil adalah; Kalau di Ternate, terjadi antara anak-anak yang bapaknya bersaudara dekat/jauh atau ibunya bersaudara dekat/jauh. Kebanyakan bentuk perkawinan ini tidak disetujui oleh anak muda jaman sekarang sehingga jalan yang mereka tempuh adalah bentuk “Masibiri” atau Kawin Lari. Bentuk perkawinan Kofu’u ini sudah jarang terjadi dalam masyarakat Ternate.
5.      Kawin Lari (Masibiri)
            Perkawinan bentuk ini adalah cara yang ditempuh sebagai usaha terakhir karena jalan lain tidak memungkinkan atau tidak ada. Faktor-faktor yang mendorong terjadinya Kawin Lari diantaranya karena orang tua tidak menyetujui, menghindari biaya perkawinan yang sangat tinggi, pihak laki-laki tidak mampu untuk melaksanakan cara meminang atau juga karena mereka berlainan rumpun marga dalam kelompok yang tidak boleh menikah.

            Bentuk perkawinan ini ditempuh dan dapat terjadi karena pihak keluarga si pemuda adalah berasal dari strata bawah atau terlalu miskin untuk mampu melaksanakan cara meminang. Masyarakat Ternate menganggap bahwa bentuk Kawin Lari merupakan pintu darurat yang ditempuh oleh si pemuda. Kaum muda mudi di Ternate jaman sekarang menyebutnya dengan istilah plesetan “Kawin Cowboy”.

            Konsekwensi adat yang dipikul akibat perkawinan ini sudah dipikirkan matang-matang oleh pasangan kedua remaja tersebut. Walaupun perkawinan ini dilakukan secara darurat (kebanyakan dilaksanakan di rumah penghulu) namun tetap dianggap sah menurut hukum adat karena tata cara perkawinan dilaksanakan menurut rukun nikah secara Islam.

            Biasanya yang bertindak sebagai wali adalah “Wali Hakim Syari’at”. Karena biasanya orang tua si gadis tidak bersedia menjadi wali nikah. Pada umumnya si gadis lari/kabur dari rumah orang tuanya dan menuju ke rumah petugas/pejabat nikah (Hakim Syari’at), ia langsung diterima oleh isteri pejabat Haki Syari’at tersebut dan diperkenankan untuk tinggal beberapa hari. Setelah petugas memberitahukan kepada orang tuanya bahwa anak gadisnya sekarang berada di rumahnya.
Biasanya orang tua si gadis menyerahakan wali dan pelaksanaan perkawinan darurat ini kepada petugas Hakim Syari’at untuk mengurusnya. Bentuk perkawinan Masibiri ini hingga saat ini masih banyak ditempuh oleh anak muda Ternate yang mengambil jalan pintas untuk berumah tangga bila tidak direstui oleh orang tuanya.
6.      Ganti Tiang (Ngali Ngasu)

            Bentuk perkawinan ini walaupun menjadi salah satu jenis dalam perkawinan adat di Ternate namun jarang sekali terjadi. Bentuk perkawinan Ngali Ngasu ini terjadi apabila salah satu dari pasangan suami isteri yang isterinya atau suaminya meninggal dunia maka yang menggantikannya adalah iparnya sendiri, yaitu kakak atau adik dari si istri atau kakak atau adik dari si suami.

            Bentuk penggantian peran dimaksud dalam jenis perkawinan ini dilakukan dengan cara mengawini iparnya sendiri demi kelangsungan rumah tangganya agar tidak jatuh ke tangan pihak lain.

            Perkawinan semacam ini bagi masyarakat adat di pulau Jawa dikenal dengan istilah “Turun Ranjang”. Namun karena perkembangan pola pemikiran dan perkembangan jaman mengakibatkan bentuk perkawinan sudah hampir tidak pernah terjadi lagi di Ternate.

  1. Upacara Perkawinan
Ø  Sigado Salam
Proses tata cara perkawinan adat Ternate diawali dengan menyampaikan salam atau dalam bahasa Ternate disebut Sigado Salam. Salam dimaksud disampaikan dari pihak keluarga calon mempelai laki-laki kepada pihak keluarga calon mempelai perempuan. Disaat sigado salam dari pihak laki-laki yang biasanya diwakili oleh anggota keluarga tertua atau pemangku adat sebagai utusan dengan maksud sehari dua pihak keluarga mempelai laki-laki dalam satu waktu atau dua hari nanti akan datang bertamu ke rumah mempelai perempuan.Setelah mendengar salam yang disampaikan dari utusan mempelai laki-laki, maka dengan rasa hormat dari pihak mempelai perempuan menyambut salam dari utusan mempelai laki-laki bahwa salam mereka telah terima.

Ø  Wosa Lahi
Setelah melalui proses Sigado Salam maka pihak mempelai laki-laki melakukan persiapan pada acara Masuk Minta atau Wosa Lahi. Makna wosa lahi atau masuk minta secara harfiah berarti melamar.meminang. Lamaran dilakukan oleh pihak laki-laki dengan mengutus sesepuh atau keluarga tertua atau kerabat yang memiliki ikatan keluarga yang diserahi tugas sebagai utusan, utusan ini dalam bahasa Ternate disebut dengan Baba Se Ema Yaya Se Goa. Setelah tiba pada hari yang telah ditentukan¸utusan Baba Se Ema Yaya Se Goa dari keluarga mempelai laki-laki menuju ke rumah calon mempelai perempuan. Maka dari pihak mempelai perempuan dengan kabasaran mengangkat Subah (salam) untuk menerima kehadiran utusan Baba Se Ema Yaya Se Goa dari mempelai laki-laki, sebelum mengadakan kesepakatan, pihak mempelai perempuan menyuguhkan pinang dan sirih yang melambangkan ikatan keharmonisan dan saling menghargai dari kedua keluarga tersebut. Setelah upacara makan pinang dan sirih, utusan Baba Se Ema Yaya Se Goa dari pihak laki-laki menyampaikan maksud kedatangannya. Yaitu meminang salah satu anak perempuan dari keluarga  tersebut. Sekaligus mohon penjelasan dan jawaban dari pihak calon mempelai perempuan. Setelah mendengar maksud kedatangan utusan pihak tersebut pihak keluarga calon mempelai perempuan yang menyetujui dan merestui maksud dan tujuan utusan Baba Se Ema Yaya Se Goa, secara bersama-sama menentukan waktu untuk antar belanja atau yang dikenal dalam bahasa Ternate disebut harga  pinang dan sirih, serta penentuan hari dan bulan perkawinannya.

Ø  Kata Bido Se Hana Ma Ija
Mengantarkan belanja dalam bahasa Ternate kata bido se dufahe maija dari utusan calon mempelai laki-laki kepada pihak keluarga calon mempelai perempuan disaat prosesi masuk minta atau wosa lahi. Antar belanja atau kato bido se hena maija yang dilakukan oleh baba se ema yaya segoa dari utusan calon mempelai laki-laki, dengan mengandung makna bahwa bido sedufahe maija merupakan permintaan dari pihak mempelai wanita yang menyangkut dengan kebutuhan dalam prosesi perkawinan dengan segala macam perjanjian yang harus dipenuhi oleh pihak mempelai laki-laki menjelang upacara perkawinan.

Ø  Fere Wadaka
Setelah mengantarkan belanja maka proses perkawinan diawali dengan upacara naik wadaka atau dalam bahasa Ternate disebut Fere Wadaka. Fere Wadaka secara harfiah memiliki makna bahwa sebelum dilangsungkan acara perkawinan maka calon pengantin utamanya mempelai perempuan melakukan tapak diri (naik lulur) yakni calon pengantin dipingit beberapa hari dalam kamarnya sambil dilulur dengan bedak tradisional, kemudian dilakukan pensucian diri hingga tibanya acara kata rorio yaya segoa.

Ø  Kata Rorio/Yaya Segoa
Kata rorio yaya segoa dilakukan pada malam hari menjelang hari pernikahan, acara ini dihadiri oleh keluarga dari kedua mempelai, kerabat dan handaitolan dengan maksud menjenguk dan memberikan restu atas kelangsungan pernikahan dari mempelai dengan membawa bantuan apa adanya sesuai dengan kemampuan masing-masing. Makna yang terselip pada acara kata rorio yaya segoa adalah memeperat tali silaturahmi atau sidoa gia yang tulus tanpa paksaan dari keluarga dan handaitolan.

Ø  Hodo Jako
Hodo jako atau mandi dari tiga tabung bambu dilakukan pada waktu subuh menjelang hari pernikahan, sebelum mandi jako dilakukan mempelai telah melakukan  naik wadaka terlebih dahulu dengan melulurkan seluruh tubuh dengan bedak tradisional yang diakhiri dengan mandi jako, dengan menggunakan lesa-lesa (piring besar), daun pohon bulah yang yang melambangkan mahligai rumah tangga, hate jwa dan kano-kano (sejenis ilalang besar) yang melambangkan kesuburan rumah tangga yang akan dibangun, mayang pinang yang melambangkan kehidupan rumah tangga yang utuh seperti tangkai mayang dan buah kelapa melambangkan pengertian bersama dari kedua suami istri dalam mengarungi bahtera rumah tangga serta tiga buah tabung bambu, dari sumber mata air yang berbeda yang melambangkan kepatuhan dan pengabdian kita kepada sang pencipta, agama dan penuh rasa kemanusiaan.

Ø  Upacara Ijab Kabul
Upacara ini dilangsungkan di kediaman mempelai pria, yang sudah mengenakan pakaian pengantin secara lengkap yaitu destar, jubah, dan gamis, dlengkapi dengan keris yang diselipkan di pinggang bagian depan. Disesuaikan dengan perubahan zaman, pengantin pria sekarang mengenakan selop sebagai alas kaki. Sedangkan pengantin wanita yang tinggal di rumahnya sendiri memakai koci-koci, terdiri dari pasangan sarung dan semacam baju kurung yang diberi ikat pinggang, berselendang dan di bagian lehernya dihiasi semacam penutup yang melingkar menutupi pundak hingga punggung. Ditinjau dari bentuk hiasan kepalanya, dapat dikatakan bahwa hal ini sudah dipengaruhi oleh kebudayaan cina. Jenis pakaian pengantin yang dikenakan pada asal mulanya ditentukan oleh tingkatan derajat dari pengantin. Namun tentu saja peraturan semacam ini sudah tidak berlaku lagi. Setiap pasangan yang akan menikah berhak untuk memilih jenis pakaian yang akan mereka kenakan sesuai selera mereka masing-masing. Usai upacara ijab kabul, kedua mempelai diantar ke rumah mempelai wanita oleh kerabat, handai tolan dan teman-teman dekat pria maupun wanita. Dan pada kesempatan ini pihak keluarga mempelai pria membawa hantaran peralatan adat yang disebut ngale-ngale yang dimaksudkan sebagai barang-barang persembahan bagi mempelai wanita (semacam upacara seserahan dalam adat Sunda) yang terdiri dari :
    Kai Ma Ija (mas kawin) berupa sejumlah uang atau seperti yang telah disepakati sebelumnya oleh kedua belah pihak) dibungkus kantung putih yang dijahit rapat, diibaratkan sebagai kemurnian kehormatan mempelai wanita. Kemudian kantung berisi uang tersebut dimasukkan dalam kotak yang dilapis kain putih, melambangkan bahwa mempelai wanita berasal dari naungan keluarga baik-baik. Pembawa kotak berisikan uang yang diletakkan di atas baki dengan penutup kain sutera ini adalah seorang gadis kecil yang didandani dengan pakaian adat.
    Gogoro Ma Pake  yaitu baki yang diisi dengan perlengkapan wanita dan perhiasannya antara lain 1 helai kain sutera, 1 helai kebaya sutera, 1 helai kerudung putih, 1 set perhiasan dari emas atau perak (giwang, kalung, cincin, bros dan lain-lain). Juga kini dilengkapi dengan sepasang selop.
    Kaha Ma Jojobo, yang terdiri dari: 1 rumpun rumput fartogu dengans edikit tanahnya, 1 botol (carrave) air murni (dari sumur), sebuah piring dari beling berwarna putih berisikan segenggam beras yang telah diberi warna kuning, putih, dan merah (beras populak), yang berarti adanya umat manusia yang beraneka warna/ragam, bunga dari lilin yang berarti sinar kasih abadi atau yang dimaksud sebagai lambang penerangan abadi dalam hidup kedua mempelai. Semua barang ini pun diletakkan diatas baki.

Setelah iring-iringan mempelai pria tiba di depan rumah mempelai wanita, dimulai pula rangkaian upacara selanjutnya yang disebut:
  1. Gere Se Doniru yang diawali dengan: Upacara yang dilangsungkan begitu iringan mempelai pria tiba di pintu depan rumah dan pintu kamar mempelai wanita yang dihalangi oleh beberapa pemuda pemudi yang disebut Fati Ngara yang harus di "bujuk" dengan "ngara mo ngoi" taburan uang receh sesuai dengan kemampuan oleh pemuda pemudi pengiring mempelai pria, kepada Fati Ngara agar mereka berkenan membukakan pintu rumah mempelai wanita. hal yang sama akan diulang lagi di muka pintu pintu kamar mempelai wanita.
Jika mempelai pria beserta rombongan berhasil melalui kedua pintu tadi, maka mereka akan tiba dimuka mempelai wanita yang didudukkan di pelaminan dengan bertiraikan kelambu. Kelambu baru akan dibuka setelah iringan mempelai pria menaburkan uang receh yang disebut "Guba Ma Ngoi".
Upacara memberi uang dilaksanakan kembali pada waktu mempelai pria akan membuka kukudu (penutup kepala) mempelai wanita, dan upacara ini disebut Ngongoma Bubi. Dilanjutkan pengusapan ubun-ubun mempelai wanita, dengan telapak tangan kanan mempelai pria lambang tanda penerimaan yang sah dari suami terhadap istrinya. Arti lain dari gerakan ini adalah saling membatalkan "wudhu" yang dilakukan kedua mempelai guna melakukan shalat, sebelum upacara pernikahan dilangsungkan. Kemudian disambungkan dengan mendudukan mempelai pria di sebelah kiri wanitanya, sehingga kedua sejoli duduk berdampingan. Sesudah itu keris yang terselip di pinggang pria diambil dan dihunus dari sarungnya. Sarung keris diletakkan di pangkuan mempelai wanita dengan tangan kirinya tetap menggenggamnya, sedang tangan kanan menggenggam hulu keris yang diletakkan di pangkuannya sendiri. Tindakan ini melambangkan penyerahan jiwa untuk sehidup semati dari kedua belah pihak.

b.      Paha Ngomgoma
Setelah melewati tradisi fati ngara pihak mempelai laki-laki memasuki kamar mempelai wanita sekedar meletakkan tangan di atas ubun mempelai wanita yang memiliki makna bahwa mempelai pria dan wanita dengan sah menjadi suami istri, kemudian dilanjutkan dengan pemberian mas kawin oleh pihak mempelai laki-laki kepada mempelai wanita. Acara ini kemudian dilanjutkan dengan upacara joko kaha dengan mempergunakan rumput fartagu yang terletak di atas sebuah piring yang melambangkan kehidupan dan kebahagian yang akan dijamah oleh kedua mempelai, sedangkan sebotol air yang disiram pada kedua kaki mempelai yang melambangkan keteduhan dan kesejukan kehidupan yang menjadi sandaran bagi kedua mempelai dan pupulak yang terdiri dari beras kuning, beras merah dan beras hijau melambangkan bermacam-macam suku yang menjadi sahabat dan kenalan bagi kedua mempelai.

c.       Suba Yaya Baba
Setelah melakukan paha ngoma dan penyerahan mas kawin kedua mempelai melakukan subah yaya se baba yaitu melakukan sembah sujud kepada kedua orang tua sekaligus melepaskan tanggung jawab orang tua terhadap anaknya dalam mengarungi bahtera rumah tangga mereka.

d.      Saro-saro
Acara tradisi perkawinan Ternate yang sangat menarik perhatian adalah upacara Saro-saro upacara yang dilakukan oleh ibu-ibu atau yang dikenal dengan yaya segoa. Setelah kedua mempelai menjalani prosesi pernikahan kemudian  menempati tempat yang telah disediakan untuk upacara saro-saro, upacara ini diawali dengan subah (salam) dari kedua mempelai kemudian dilanjutkan dengan upacara saro yang diawali dengan saro srikaya yang melambangkan budi pekerti yang harus ditunjukan oleh kedua mempelai, saro nanas yang melambangkan kesetiaan sang istri terhadap suami, dan saro kobo yang melambangkan sifat suami yang bertanggung jawab terhadap rumah tangga. Acara saro-saro ini merupakan bentuk doa atau permintaan yang sifatnya ritual dengan makna yang filosofis mengandung symbol dalam bentuk pangan atau dalam bahasa Ternate disebut ngale secara yang disuguhkan kepada kedua mempelai dengan ciri khas dan sifat-sifat yang melekat pada diri manusia dan alam sekitarnya. Saro-saro merupakan tradisi perkawinan yang dilakukan secara turun temurun oleh masyarakat.

e.       Ngogu Adat
Ngogu adat atau makanan adat ini disuguhkan pada acara perkawinan masyarakat yang merupakan ungkapan rasa syukur dalam bentuk cara sengale dalam pelaksanaan hajatan perkawinan. Makanan adat Ternate yang kita kenal saat ini dibagi dalam dua bentuk yaitu Dodego nunau I yaya segoa dan Dodego foheka mi yaya segoa. Kedua bentuk tersebut pada prinsipnya memiliki makna yang sama akan tetapi secara harfiah makna sesungguhnya dari dodego foheka mi yaya segoa adalah melakukan saro-saro dari kedua mempelai sedangkan dodego nanau I yaya segoa yang terdiri dari para pemangkut adat, imam, tokoh agama, tokoh masyarakat, dan para undangan yang menerima salam atau koro bersama-sama membacakan doa dan dilanjutkan dengan suguhan makanan adat. Upacara ini dimulai dengan mempersilahkan tetua keluarga dan tamu-tamu kehormatan untuk duduk bersama kedua mempelai di meja makan perhelatan yang di atasnya telah dihidangkan Jaha se-kusuang yang ditata berderet sepanjang meja,
 yang terdiri dari sepuluh potong nasi jaha atau pali-pali yang melambangkan armada laut (juwanga), dada atau kukusang (nasi tumpeng) demokrasi dan kesatuan, ikan dan terong melambangkan cing se cingare (kehidupan lelaki dan perempuan), gulai melambangkan kekayaan laut dan daratan, bubur kacang hijau melambangkan kesuburan dan kemakmuran srikaya melambangkan budi pekerti dan tata karma masyarakat Ternate dan empat buah boboto melambangkan kekuatan empat momole.Dari sajian makan adat tersebut pada umumnya disajikan dalam satu paket atau dalam bahasa Ternate disebut ngogu rimoi dibagi empat orang gogoro(undangan) yang hadir mengikuti upacara tersebut. Prosesi perkawinan adat Ternate yang dilakukan secara turun temurun, yang tetap lestari dan hidup di masyarakat merupakan nilai budaya daerah yang perlu dijaga keutuhannya sebab nilai budaya daerah merupakan aset budaya bangsa.

f.       Upacara Suba Kie Se Kolano
Dilakukan dengan menghadapkan kedua mempelai ke empat penjuru: Barat, Timur, Utara dan Selatan sebagai tanda penghormatan kepada kolano negeri dan sumber angin. Setelah upacara-upacara adat selesai, tamu dipersilakan makan, lalu acara berlanjut dengan menari bersama diiringi musik tradisional dan nyanyian rakyat Maluku Utara  yang bernada gembira. Para tamu yang hadir dalam acara ini turut pula berpartisipasi.



BAB III
PENUTUP

  1. Kesimpulan
Sistem Kekerabatan pada masyarakat Ternate
Pola menetap masyarakat Ternate adalah Patrilokal dimana, si Istri tinggal di rumah orang tua suami. Dengan demikian garis keturunan masyarakat Ternate adalah Patrilineal.
Bride Price yang diberikan oleh mempelai pria, oleh masyarakat Ternate biasa disebut dengan Kai Ma Ija yang berupa uang yang telah disepakati sebelumnya yang dibungkus dengan kain putih yang dijahit tertutup. Gogoro Ma Pake berupa perlengkapan wanita dan perhiasan.
Batasan pemilihan jodoh masyarakat Ternate adalah Exogami marga. Dimana seseorang tidak boleh menikah dengan orang yang memiliki marga yang sama.
Solidaritas Sosial
Terdapat beberapa tradisi lama yang sifatnya positif terus dipertahankan oleh masyarakat Ternate, terutama menyangkut kehidupan sosial berupa tradisi gotong royong yang dikenal dengan tradisi “Bari” ataupun “Lian”, termasuk tradisi saat hari meninggalnya seseorang. Tradisi Pada Saat Hari Kematian Seseorang Dalam kehidupan masyarakat Ternate, bila ada salah satu warga masyarakat yang meninggal dunia, biasanya dikabarkan dari mulut ke mulut kepada keluarga, saudara dan kerabat. Setelah mendengar berita duka, warga masyarakat mulai berdatangan ke rumah duka, terutama wargaa di kampung tersebut berbondong-bondong berkumpul. Kegiatan pertama yang biasanya dilakukan adalah menyiapkan tenda yang dalam bahasa Ternate disebut “Sabua” di depan dan di belakang rumah duka.

Sementara warga yang lainnya menyiapkan liang kubur. Sedangkan kesibukan dalam rumah duka sendiri adalah menyiapkan kebutuhan untuk pemakaman seperti ; kain kafan, peralatan memandikan mayat, serta kebutuhan lain yang berhubungan dengan pemakaman. Sementara itu, kaum ibu-ibu datang membawa sembako seadanya untuk disumbangkan ke rumah duka yang akan dijadikan bahan baku konsumsi, berupa; beras, terigu, gula pasir, teh, dsb. Kaum ibu-ibu biasanya saat datang mulai menyiapkan dan membentuk semacam dapur umum di belakang rumah duka, bahkan di rumah tetangga kiri dan kanan untuk menyiapkan makan semua pelayat yang datang pada saat itu untuk makan setelah selesai upacara pemakaman.
Stratifikasi Sosial Masyarakat Ternate
Pada zaman dahulu kala, tepatnya zaman kerajaan atau kesultanan Ternate terisi atas beberapa strata social. Terbagi berdasarkan ketururan tapi tidak menentukan kasta seseorang sehingga tidak bersifat fungsional diantaranya :
1. Golongan Jou
Yaitu golongan isatana, yang terdiri dari sultan dan keluarganya, sampai tiga turunan satu garis lurus langsung. Sebutan terhadap kedua golongan ini, misalnya: JOU KOLANO (yang mulia sultan), dengan nama kebesaran. Sedangkan sebutan ubtuk Permaisuri Sultan: JO-BOKI (singkatan dari kata JOU MA-BOKI), sebutan untuk anak putra sultan : KAICILI PUTRA, dan BOKI PUTRI (putrid sultan). Keraton kesultanan Ternate adalah tempat tinggal mereka. Golongan Jou memakai penuttup kepala berwarna Putih, hanya dipakai oleh golongan Jou TUALA BUBUDO.

2. Golongan Dano
Yaitu golongan keluarga cucu sultan dan anak anak yang dilahirkan dari Putri Sultan dengan orang dari luar lingkungan istana atau golongan masyarakat biasa, juga termasuk keturunan dari kanak kanak maupun adik kandung sang Sultan. Penutup kepalanya – Pejabat Kesultanan (KAPITA/FABYIRA).

3. Golongan Bala
Golongan ini sering disebut dengan (BALA KUSUSEKANOKANO), yaitu mereka yang berada di luar kedua golongan diatas (raknyat biasa). Penutup kepala khasnya adalah TUALA KURCACI.

Tidak menutup kemungkinan rakyat biasa dapat ikit serta dalam jabatan jabatan tinggi misalnya Kepala adat.

  1. Kritik dan Saran






DAFTAR PUSTAKA

Internet :




http://www.anneahira.com/adat-istiadat-maluku.htm, diakses pada tanggal 10 Desember 2013.

Kekerasan dalam Dunia Pendidikan



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Kekerasan Terhadap Siswa
      Kekerasan pada siswa adalah suatu tindakan keras yang dilakukan terhadap siswa di sekolah dengan dalih mendisiplinkan siswa (Charters dalam Anshori, 2007).
Ada beberapa bentuk kekerasan yang umumnya dialami siswa.
o    Kekerasan fisik : kekerasan fisik merupakan suatu bentuk kekerasan yang dapat mengakibatkan luka atau cedera pada siswa, seperti memukul, menganiaya, dll.
o    Kekerasan psikis : kekerasan secara emosional dilakukan dengan cara menghina, melecehkan, mencela atau melontarkan perkataan yang menyakiti perasaan, melukai harga diri, menurunkan rasa percaya diri, membuat orang merasa hina, kecil, lemah, jelek, tidak berguna dan tidak berdaya.
o    Kekerasan defensive : kekerasan defensive dilakukan dalam rangka tindakan perlindungan, bukan tindakan penyerangan (Rini, 2008).
o    Kekerasan agresif : kekerasan agresif adalah kekerasan yang dilakukan untuk mendapatkan sesuatu seperti merampas, dll (Rini, 2008).
B.     Faktor Penyebab Kekerasan dalam Dunia Pendidikan
Kekerasan yang terjadi dalam dunia pendidikan dapat terjadi karena beberapa faktor, yaitu:
1.      Guru
Ada beberapa faktor yang menyebabkan guru melakukan kekerasan pada siswanya, yaitu:
a)      Kurangnya pengetahuan bahwa kekerasan baik fisik maupun psikis tidak efektif untuk memotivasi siswa atau merubah perilaku, malah beresiko menimbulkan trauma psikologis dan melukai harga diri siswa.
b)      Persepsi yang parsial dalam menilai siswa. Bagaimana pun juga, setiap anak punya konteks kesejarahan yang tidak bisa dilepaskan dalam setiap kata dan tindakan yang terlihat saat ini, termasuk tindakan siswa yang dianggap “melanggar” batas. Apa yang terlihat di permukaan, merupakan sebuah tanda / sign dari masalah yang tersembunyi di baliknya. Yang terpenting bukan sebatas “menangani” tindakan siswa yang terlihat, tapi mencari tahu apa yang melandasi tindakan / sikap siswa.
c)      Adanya masalah psikologis yang menyebabkan hambatan dalam mengelola emosi hingga guru yang bersangkutan menjadi lebih sensitif dan reaktif.
d)     Adanya tekanan kerja : target yang harus dipenuhi oleh guru, baik dari segi kurikulum, materi maupun prestasi yang harus dicapai siswa didiknya sementara kendala yang dirasakan untuk mencapai hasil yang ideal dan maksimal cukup besar.
e)      Pola authoritarian masih umum digunakan dalam pola pengajaran di Indonesia. Pola authoritarian mengedepankan faktor kepatuhan dan ketaatan pada figure otoritas sehingga pola belajar mengajar bersifat satu arah (dari guru ke murid). Implikasinya, murid kurang punya kesempatan untuk berpendapat dan berekspresi. Dan, pola ini bisa berdampak negatif jika dalam diri sang guru terdapat insecurity yang berusaha di kompensasi lewat penerapan kekuasaan.
f)       Muatan kurikulum yang menekankan pada kemampuan kognitif dan cenderung mengabaikan kemampuan afektif (Rini, 2008). Tidak menutup kemungkinan suasana belajar jadi “kering” dan stressful, dan pihak guru pun kesulitan dalam menciptakan suasana belajar mengajar yang menarik, padahal mereka dituntut mencetak siswa-siswa berprestasi.
2.      Siswa
Salah satu factor yang bisa ikut mempengaruhi terjadinya kekerasan, adalah dari sikap siswa tersebut. Sikap siswa tidak bisa dilepaskan dari dimensi psikologis dan kepribadian siswa itu sendiri. Kecenderungan sadomasochism tanpa sadar bisa melandasi interaksi antara siswa dengan pihak guru, teman atau kakak kelas atau adik kelas. Perasaan bahwa dirinya lemah, tidak pandai, tidak berguna, tidak berharga, tidak dicintai, kurang diperhatikan, rasa takut diabaikan, bisa saja membuat seorang siswa clinging pada powerful / authority figure dan malah “memancing” orang tersebut untuk actively responding to his / her need meskipun dengan cara yang tidak sehat. Contohnya, tidak heran jika anak berusaha mencari perhatian dengan bertingkah yang memancing amarah, agresifitas atau pun hukuman. Tapi, dengan demikian, tujuannya tercapai, yakni mendapat perhatian. Sebaliknya, bisa juga perasaan inferioritas dan tidak berharga di kompensasikan dengan menindas pihak lain yang lebih lemah supaya dirinya merasa hebat.
3.       Keluarga
Kekerasan yang dilakukan baik oleh guru maupun siswa, perlu juga dilihat dari factor kesejarahan mereka.
a.       Pola Asuh
Anak yang dididik dalam pola asuh yang indulgent, highly privilege (orang tua sangat memanjakan anak dan memmenuhi semua keinginan anak), tumbuh dengan lack of internal control and lack of sense of responsibility. Mengapa? Dengan memenuhi semua keinginan dan tuntutan mereka, anak tidak belajar mengendalikan impulse, menyeleksi dan menyusun skala prioritas kebutuhan, dan bahkan tidak belajar mengelola emosi. Ini jadi bahaya karena anak merasa jadi raja dan bisa melakukan apa saja yang ia inginkan dan bahkan menuntut orang lain melakukan keinginannya. Jadi anak akan memaksa orang lain untuk memenuhi kebutuhannya, dengan cara apapun juga asalkan tujuannya tercapai. Anak juga tak memiliki sense of responsibility karena kemudahan yang ia dapatkan, membuat anak tidak berpikir action-consequences, aksi reaksi, kalau mau sesuatu ya harus berusaha. Anak di sekolah ingin dapat nilai bagus tapi tidak mau belajar, akhirnya mencontek, atau memaksa siswa lain memberi contekan dengan ancaman.
b.      Orangtua mengalami masalah psikologis
Jika orangtua mengalami masalah psikologis yang berlarut-larut, bisa mempengaruhi pola hubungan dengan anak. Misalnya, orang tua yang stress berkepanjangan, jadi sensitif, kurang sabar dan mudah marah pada anak, atau melampiaskan kekesalan pada anak. Lama kelamaan kondisi ini mempengaruhi kehidupan pribadi anak. Ia bisa kehilangan semangat, daya konsentrasi, jadi sensitif, reaktif, cepat marah, dsb.
c.        Keluarga disfungsional
Keluarga yang mengalami disfungsi punya dampak signifikan terhadap sang anak. Keluarga yang salah satu anggotanya sering memukul, atau menyiksa fisik atau emosi, intimidasi anggota keluarga lain; atau keluarga yang sering konflik terbuka tanpa ada resolusi, atau masalah berkepanjangan yang dialami oleh keluarga hingga menyita energy psikis dan fisik, hingga mempengaruhi interaksi, komunikasi dan bahkan kemampuan belajar, kemampuan kerja beberapa anggota keluarga yang lain. Situasi demikian mempengaruhi kondisi emosi anak dan lebih jauh mempengaruhi perkembangan kepribadiannya. Sering dijumpai siswa “bermasalah”, setelah diteliti ternyata memiliki latar belakang keluarga yang disfungsional.
4.      Lingkungan
Tak dapat dipungkiri bahwa kekerasan yang terjadi selama ini juga terjadi karena adanya faktor lingkungan, yaitu:
a.       Adanya budaya kekerasan : seseorang melakukan kekerasan karena dirinya berada dalam suatu kelompok yang sangat toleran terhadap tindakan kekerasan. Anak yang tumbuh dalam lingkungan tersebut memandang kekerasan hal yang biasa / wajar.
b.      Mengalami sindrom Stockholm : Sindrom Stockholm merupakan suatu kondisi psikologis dimana antara pihak korban dengan pihak aggressor terbangun hubungan yang positif dan later on korban membantu aggressor mewujudkan keinginan mereka.
c.       Tayangan televisi yang banyak berbau kekerasan : Jika seseorang terlalu sering menonton tayangan kekerasan maka akan mengakibatkan dirinya terdorong untuk mengimitasi perilaku kekerasan yang ada di televisi. Sebab, dalam tayangan tersebut menampilkan kekerasan yang diasosiasikan dengan kesuksesan, kekuatan dan kejayaan seseorang. Akibatnya, dalam pola berpikir muncul premis bahwa jika ingin kuat dan ditakuti, pakai jalan kekerasan.
C.     Guru Profesional
Profesionalisme berasal dari kata profesi yang artinya suatu bidang pekerjaan yang ingin atau akan ditekuni seseorang. (Webster, 1989). Secara etimologi, istlah profesi berasal dari bahasa inggris, yaitu profession atau bahasa latin profecus, yang artinya mengakui, adanya pengakuan, menyatakan mampu atau ahli dalam melakukan suatu pekerjaan.
Menurut Martins Yamin (2007), profesi memiliki pengertian seseorang yang menekuni pekerjaan berdasarkan keahlian, kemampuan, tehnik, dan prosedur berdasarkan intelektualitas.
Sedangkan menurut Jasin Muhammad (dalam Yunus Namsa, 2006), profesi adalah suatu lapangan pekerjaan yang dalam melakukan tugasnya memerlukan tehnik dan prosedur ilmiah, memiliki dedikasi, serta cara menyikapi lapangan pekerjaan yang berorientasi pada pelayanan yang ahli.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa profesi adalah suatu bidang pekerjaan atau keahlian tertentu yang mensyaratkankompetensi intelektualitas, sikap dan keterampilan tertentu yang diperoleh melalui proses pendidikan secra akademis yang intensif.
Menurut Uzer Usman (1992), suatu pekerjaan yang professional memerlukan beberapa bidang ilmu yang secara sengaja harus dipelajari dan kemudain  diaplikasikan bagi kepentingan umum.
H.A.R Tilaar (2006 : 86), menjelaskan bahwa seseorang professional menjalankan pekerjaannya sesuai dengan tuntutan profesi atau dengan kata lain memiliki kemampuan atau sikap sesuai dengan tuntutan profesinya.
Jadi, profesionalisme mengarah pada komitmen para anggota suatu profesi untuk meningkatkan kemampuan profesionalismenya dan terus-menerus mengembangkan strategi-strategi yang digunakannya dalam melakukan pekerjaan yang sesuai dengan profesi yang diembannya.
Jadi, Profesionalisme guru merupakan kondisi, arah, nilai, tujuan, dan kualitas suatu keahlian dan kewenangan dalam bidang pendidikan dan pembelajaran yang berkaitan dengan pekerjaan seorang yang menjadi mata pencaharian. Jadi dapat disimpulkan bahwa guru professional adalah orang yang memiliki kemampuan dan keahlian khusus dalam bidang keguruan, sehingga ia mampu untuk melakukan tugasdan fungsinya sebagai guru dengan maksimal.
D. Peranan Guru di Sekolah
                              Dalam ilmu sosiologi, kita biasa menemukan dua istilah yang akan slalu berkaitan, yaitu status dan peran. Status biasanya didefinisikan sebagai suatu posisi seseorang dalam suatu kelompok. Sedangkan peran merupakan sebuah perilaku yang diharapkan dari seseorang yang memiliki status tertentu.
                  Status sebagai guru dapat dipandang sebagai yang tinggi atau rendah, tergantung dimana ia berada. Peran seorang guru yang berkedudukan sebagai pendidik seharusnya melakukan perbuatan yang layak sesuai harapan masyarakat dan guru diharapkan berperan sebagai teladan dan rujukan dalam masyarakat dan khususnya anak didik yang ia ajar.


E. Kode Etik Guru
Pada Bagian Satu, Pasal 6 menyebutkan bahwa hubungan guru dengan peserta didik adalah sebagai berikut :
a.       Guru berprilaku secara professional dalam melaksanakan tugas didik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi proses dan hasil pembelajaran.
b.      Guru membimbing peserta didik untuk memahami, mengahayati dan mengamalkan hak-hak dan kewajiban sebagai individu, warga sekolah dan masyarakat.
c.       Guru memberikan pandangan professional, menjunjung tinggi nilai agama, hukum, moral dan kemanusiaan dalam berhubungan dengan masyarakat.

Proses belajar mengajar sangat dipengaruhi oleh relasi antara guru dengan siswa yang aada dalam proses belajar itu sendiri. Didalam relasi guru dengan siswa yang baik, siswa akan menyukai gurunya, juga akan menyukai mata pelajaran yang diberikan sehingga siswa mempelajari sebaik-baiknya. Hal tersebut juga terjadi sebaliknya jika siswa membenci gurunya, ia segan mempelajari mata pelajaran yang diberikannya akibatnya pelajaran menjadi tidak maju. Guru yang kurang berinteraksi dengan siswa secara akrab, menyebabkan proses belajar mengajar kurang lancar. Juga siswa merasa jauh dengan guru , maka ia segan untuk ikut berpartisipasi secara aktiv dalam proses belajar.
F. Cara Mengatasi Kekerasan dalam Dunia Pendidikan
1.      Bagi Sekolah
a)      Menerapkan pendidikan tanpa kekerasan di sekolah.
b)      Pendidikan tanpa kekerasan adalah suatu pendidikan yang ditujukan pada anak dengan mengatakan “tidak” pada kekerasan dan menentang segala bentuk kekerasan. Dalam menanamkan pendidikan tanpa kekerasan di sekolah, guru dapat melakukannya dengan menjalin komunikasi yang efektif dengan siswa, mengenali potensi-potensi siswa, menempatkan siswa sebagai subjek pembelajaran, guru memberikan kebebasan pada siswa untuk berkreasi dan guru menghargai siswa sesuai dengan talenta yang dimiliki siswa (Susilowati, 2007).
c)      Hukuman yang diberikan, berkorelasi dengan tindakan anak. Ada sebab ada akibat, ada kesalahan dan ada konsekuensi tanggung jawabnya. Dengan menerapkan hukuman yang selaras dengan konsekuensi logis tindakan siswa yang dianggap keliru, sudah mencegah pemilihan / tindakan hukuman yang tidak rasional.
d)     Sekolah terus mengembangkan dan membekali guru baik dengan wawasan / pengetahuan, kesempatan untuk punya pengalaman baru, kesempatan untuk mengembangkan kreativitas mereka. Guru juga membutuhkan aktualisasi diri, tidak hanya dalam bentuk materi, status, dsb. Guru juga senang jika diberi kesempatan untuk menuangkan aspirasi, kreativitas dan mencoba mengembangkan metode pengajaran yang menarik tanpa keluar dari prinsip dan nilai-nilai pendidikan. Selain itu, sekolah juga bisa memberikan pendidikan psikologi pada para guru untuk memahami perkembangan anak serta dinamika kejiwaan secara umum. Dengan pendekatan psikologi, diharapkan guru dapat menemukan cara yang lebih efektif dan sehat untuk menghadapi anak didik.
e)      Konseling. Bukan hanya siswa yang membutuhkan konseling, tapi guru pun mengalami masa-masa sulit yang membutuhkan dukungan, penguatan, atau pun bimbingan untuk menemukan jalan keluar yang terbaik.
f)       Segera memberikan pertolongan bagi siapapun yang mengalami tindakan kekerasan di sekolah, dan menindaklanjuti kasus tersebut dengan cara adekuat.
g)      Sekolah yang ramah bagi siswa merupakan sekolah yang berbasis pada hak asasi, kondisi belajar mengajar yang efektif dan berfokus pada siswa, dan memfokuskan pada lingkungan yang ramah pada siswa. Menurut Rini (2008), perlu di kembangkan pembelajaran yang humanistik yaitu model pembelajaran yang menyadari bahwa belajar bukan merupakan konsekuensi yang otomatis namun membutuhkan keterlibatan mental, dan berusaha mengubah suasana belajar menjadi lebih menyenangkan dengan memadukan potensi fisik dan psikis siswa.
  1. Bagi siswa yang mengalami kekerasan
Segera sharing pada orangtua atau guru atau orang yang dapat dipercaya mengenai kekerasan yang dialaminya sehingga siswa tersebut segera mendapatkan pertolongan untuk pemulihan kondisi fisik dan psikisnya.





BAB III
PENUTUP

  1. Kesimpulan
Proses belajar mengajar sangat dipengaruhi oleh relasi antara guru dengan siswa yang aada dalam proses belajar itu sendiri. Didalam relasi guru dengan siswa yang baik, siswa akan menyukai gurunya, juga akan menyukai mata pelajaran yang diberikan sehingga siswa mempelajari sebaik-baiknya. Hal tersebut juga terjadi sebaliknya jika siswa membenci gurunya, ia segan mempelajari mata pelajaran yang diberikannya akibatnya pelajaran menjadi tidak maju. Guru yang kurang berinteraksi dengan siswa secara akrab, menyebabkan proses belajar mengajar kurang lancar. Juga siswa merasa jauh dengan guru , maka ia segan untuk ikut berpartisipasi secara aktiv dalam proses belajar.

  1. Kritik dan Saran


DAFTAR PUSTAKA

Buku :
Karsidi, Ravik. 2005. Sosiologi Pendidikan. Surakarta : LPP UNS dan UNS Press
Rusman. 2012. Model-model pembelajaran : mengembangkan profesionalisme guru. Jakarta : RajaGrafindo Persada
Slameto. 2010. Belajar dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.Jakarta : Rineka Cipta
Sudjana , Nana. 2011. Dasar-dasar proses belajar mengajar. Bandung : Sinar Baru Algesindo

Internet :