Minggu, 02 November 2014

Kekerasan dalam Dunia Pendidikan



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Kekerasan Terhadap Siswa
      Kekerasan pada siswa adalah suatu tindakan keras yang dilakukan terhadap siswa di sekolah dengan dalih mendisiplinkan siswa (Charters dalam Anshori, 2007).
Ada beberapa bentuk kekerasan yang umumnya dialami siswa.
o    Kekerasan fisik : kekerasan fisik merupakan suatu bentuk kekerasan yang dapat mengakibatkan luka atau cedera pada siswa, seperti memukul, menganiaya, dll.
o    Kekerasan psikis : kekerasan secara emosional dilakukan dengan cara menghina, melecehkan, mencela atau melontarkan perkataan yang menyakiti perasaan, melukai harga diri, menurunkan rasa percaya diri, membuat orang merasa hina, kecil, lemah, jelek, tidak berguna dan tidak berdaya.
o    Kekerasan defensive : kekerasan defensive dilakukan dalam rangka tindakan perlindungan, bukan tindakan penyerangan (Rini, 2008).
o    Kekerasan agresif : kekerasan agresif adalah kekerasan yang dilakukan untuk mendapatkan sesuatu seperti merampas, dll (Rini, 2008).
B.     Faktor Penyebab Kekerasan dalam Dunia Pendidikan
Kekerasan yang terjadi dalam dunia pendidikan dapat terjadi karena beberapa faktor, yaitu:
1.      Guru
Ada beberapa faktor yang menyebabkan guru melakukan kekerasan pada siswanya, yaitu:
a)      Kurangnya pengetahuan bahwa kekerasan baik fisik maupun psikis tidak efektif untuk memotivasi siswa atau merubah perilaku, malah beresiko menimbulkan trauma psikologis dan melukai harga diri siswa.
b)      Persepsi yang parsial dalam menilai siswa. Bagaimana pun juga, setiap anak punya konteks kesejarahan yang tidak bisa dilepaskan dalam setiap kata dan tindakan yang terlihat saat ini, termasuk tindakan siswa yang dianggap “melanggar” batas. Apa yang terlihat di permukaan, merupakan sebuah tanda / sign dari masalah yang tersembunyi di baliknya. Yang terpenting bukan sebatas “menangani” tindakan siswa yang terlihat, tapi mencari tahu apa yang melandasi tindakan / sikap siswa.
c)      Adanya masalah psikologis yang menyebabkan hambatan dalam mengelola emosi hingga guru yang bersangkutan menjadi lebih sensitif dan reaktif.
d)     Adanya tekanan kerja : target yang harus dipenuhi oleh guru, baik dari segi kurikulum, materi maupun prestasi yang harus dicapai siswa didiknya sementara kendala yang dirasakan untuk mencapai hasil yang ideal dan maksimal cukup besar.
e)      Pola authoritarian masih umum digunakan dalam pola pengajaran di Indonesia. Pola authoritarian mengedepankan faktor kepatuhan dan ketaatan pada figure otoritas sehingga pola belajar mengajar bersifat satu arah (dari guru ke murid). Implikasinya, murid kurang punya kesempatan untuk berpendapat dan berekspresi. Dan, pola ini bisa berdampak negatif jika dalam diri sang guru terdapat insecurity yang berusaha di kompensasi lewat penerapan kekuasaan.
f)       Muatan kurikulum yang menekankan pada kemampuan kognitif dan cenderung mengabaikan kemampuan afektif (Rini, 2008). Tidak menutup kemungkinan suasana belajar jadi “kering” dan stressful, dan pihak guru pun kesulitan dalam menciptakan suasana belajar mengajar yang menarik, padahal mereka dituntut mencetak siswa-siswa berprestasi.
2.      Siswa
Salah satu factor yang bisa ikut mempengaruhi terjadinya kekerasan, adalah dari sikap siswa tersebut. Sikap siswa tidak bisa dilepaskan dari dimensi psikologis dan kepribadian siswa itu sendiri. Kecenderungan sadomasochism tanpa sadar bisa melandasi interaksi antara siswa dengan pihak guru, teman atau kakak kelas atau adik kelas. Perasaan bahwa dirinya lemah, tidak pandai, tidak berguna, tidak berharga, tidak dicintai, kurang diperhatikan, rasa takut diabaikan, bisa saja membuat seorang siswa clinging pada powerful / authority figure dan malah “memancing” orang tersebut untuk actively responding to his / her need meskipun dengan cara yang tidak sehat. Contohnya, tidak heran jika anak berusaha mencari perhatian dengan bertingkah yang memancing amarah, agresifitas atau pun hukuman. Tapi, dengan demikian, tujuannya tercapai, yakni mendapat perhatian. Sebaliknya, bisa juga perasaan inferioritas dan tidak berharga di kompensasikan dengan menindas pihak lain yang lebih lemah supaya dirinya merasa hebat.
3.       Keluarga
Kekerasan yang dilakukan baik oleh guru maupun siswa, perlu juga dilihat dari factor kesejarahan mereka.
a.       Pola Asuh
Anak yang dididik dalam pola asuh yang indulgent, highly privilege (orang tua sangat memanjakan anak dan memmenuhi semua keinginan anak), tumbuh dengan lack of internal control and lack of sense of responsibility. Mengapa? Dengan memenuhi semua keinginan dan tuntutan mereka, anak tidak belajar mengendalikan impulse, menyeleksi dan menyusun skala prioritas kebutuhan, dan bahkan tidak belajar mengelola emosi. Ini jadi bahaya karena anak merasa jadi raja dan bisa melakukan apa saja yang ia inginkan dan bahkan menuntut orang lain melakukan keinginannya. Jadi anak akan memaksa orang lain untuk memenuhi kebutuhannya, dengan cara apapun juga asalkan tujuannya tercapai. Anak juga tak memiliki sense of responsibility karena kemudahan yang ia dapatkan, membuat anak tidak berpikir action-consequences, aksi reaksi, kalau mau sesuatu ya harus berusaha. Anak di sekolah ingin dapat nilai bagus tapi tidak mau belajar, akhirnya mencontek, atau memaksa siswa lain memberi contekan dengan ancaman.
b.      Orangtua mengalami masalah psikologis
Jika orangtua mengalami masalah psikologis yang berlarut-larut, bisa mempengaruhi pola hubungan dengan anak. Misalnya, orang tua yang stress berkepanjangan, jadi sensitif, kurang sabar dan mudah marah pada anak, atau melampiaskan kekesalan pada anak. Lama kelamaan kondisi ini mempengaruhi kehidupan pribadi anak. Ia bisa kehilangan semangat, daya konsentrasi, jadi sensitif, reaktif, cepat marah, dsb.
c.        Keluarga disfungsional
Keluarga yang mengalami disfungsi punya dampak signifikan terhadap sang anak. Keluarga yang salah satu anggotanya sering memukul, atau menyiksa fisik atau emosi, intimidasi anggota keluarga lain; atau keluarga yang sering konflik terbuka tanpa ada resolusi, atau masalah berkepanjangan yang dialami oleh keluarga hingga menyita energy psikis dan fisik, hingga mempengaruhi interaksi, komunikasi dan bahkan kemampuan belajar, kemampuan kerja beberapa anggota keluarga yang lain. Situasi demikian mempengaruhi kondisi emosi anak dan lebih jauh mempengaruhi perkembangan kepribadiannya. Sering dijumpai siswa “bermasalah”, setelah diteliti ternyata memiliki latar belakang keluarga yang disfungsional.
4.      Lingkungan
Tak dapat dipungkiri bahwa kekerasan yang terjadi selama ini juga terjadi karena adanya faktor lingkungan, yaitu:
a.       Adanya budaya kekerasan : seseorang melakukan kekerasan karena dirinya berada dalam suatu kelompok yang sangat toleran terhadap tindakan kekerasan. Anak yang tumbuh dalam lingkungan tersebut memandang kekerasan hal yang biasa / wajar.
b.      Mengalami sindrom Stockholm : Sindrom Stockholm merupakan suatu kondisi psikologis dimana antara pihak korban dengan pihak aggressor terbangun hubungan yang positif dan later on korban membantu aggressor mewujudkan keinginan mereka.
c.       Tayangan televisi yang banyak berbau kekerasan : Jika seseorang terlalu sering menonton tayangan kekerasan maka akan mengakibatkan dirinya terdorong untuk mengimitasi perilaku kekerasan yang ada di televisi. Sebab, dalam tayangan tersebut menampilkan kekerasan yang diasosiasikan dengan kesuksesan, kekuatan dan kejayaan seseorang. Akibatnya, dalam pola berpikir muncul premis bahwa jika ingin kuat dan ditakuti, pakai jalan kekerasan.
C.     Guru Profesional
Profesionalisme berasal dari kata profesi yang artinya suatu bidang pekerjaan yang ingin atau akan ditekuni seseorang. (Webster, 1989). Secara etimologi, istlah profesi berasal dari bahasa inggris, yaitu profession atau bahasa latin profecus, yang artinya mengakui, adanya pengakuan, menyatakan mampu atau ahli dalam melakukan suatu pekerjaan.
Menurut Martins Yamin (2007), profesi memiliki pengertian seseorang yang menekuni pekerjaan berdasarkan keahlian, kemampuan, tehnik, dan prosedur berdasarkan intelektualitas.
Sedangkan menurut Jasin Muhammad (dalam Yunus Namsa, 2006), profesi adalah suatu lapangan pekerjaan yang dalam melakukan tugasnya memerlukan tehnik dan prosedur ilmiah, memiliki dedikasi, serta cara menyikapi lapangan pekerjaan yang berorientasi pada pelayanan yang ahli.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa profesi adalah suatu bidang pekerjaan atau keahlian tertentu yang mensyaratkankompetensi intelektualitas, sikap dan keterampilan tertentu yang diperoleh melalui proses pendidikan secra akademis yang intensif.
Menurut Uzer Usman (1992), suatu pekerjaan yang professional memerlukan beberapa bidang ilmu yang secara sengaja harus dipelajari dan kemudain  diaplikasikan bagi kepentingan umum.
H.A.R Tilaar (2006 : 86), menjelaskan bahwa seseorang professional menjalankan pekerjaannya sesuai dengan tuntutan profesi atau dengan kata lain memiliki kemampuan atau sikap sesuai dengan tuntutan profesinya.
Jadi, profesionalisme mengarah pada komitmen para anggota suatu profesi untuk meningkatkan kemampuan profesionalismenya dan terus-menerus mengembangkan strategi-strategi yang digunakannya dalam melakukan pekerjaan yang sesuai dengan profesi yang diembannya.
Jadi, Profesionalisme guru merupakan kondisi, arah, nilai, tujuan, dan kualitas suatu keahlian dan kewenangan dalam bidang pendidikan dan pembelajaran yang berkaitan dengan pekerjaan seorang yang menjadi mata pencaharian. Jadi dapat disimpulkan bahwa guru professional adalah orang yang memiliki kemampuan dan keahlian khusus dalam bidang keguruan, sehingga ia mampu untuk melakukan tugasdan fungsinya sebagai guru dengan maksimal.
D. Peranan Guru di Sekolah
                              Dalam ilmu sosiologi, kita biasa menemukan dua istilah yang akan slalu berkaitan, yaitu status dan peran. Status biasanya didefinisikan sebagai suatu posisi seseorang dalam suatu kelompok. Sedangkan peran merupakan sebuah perilaku yang diharapkan dari seseorang yang memiliki status tertentu.
                  Status sebagai guru dapat dipandang sebagai yang tinggi atau rendah, tergantung dimana ia berada. Peran seorang guru yang berkedudukan sebagai pendidik seharusnya melakukan perbuatan yang layak sesuai harapan masyarakat dan guru diharapkan berperan sebagai teladan dan rujukan dalam masyarakat dan khususnya anak didik yang ia ajar.


E. Kode Etik Guru
Pada Bagian Satu, Pasal 6 menyebutkan bahwa hubungan guru dengan peserta didik adalah sebagai berikut :
a.       Guru berprilaku secara professional dalam melaksanakan tugas didik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi proses dan hasil pembelajaran.
b.      Guru membimbing peserta didik untuk memahami, mengahayati dan mengamalkan hak-hak dan kewajiban sebagai individu, warga sekolah dan masyarakat.
c.       Guru memberikan pandangan professional, menjunjung tinggi nilai agama, hukum, moral dan kemanusiaan dalam berhubungan dengan masyarakat.

Proses belajar mengajar sangat dipengaruhi oleh relasi antara guru dengan siswa yang aada dalam proses belajar itu sendiri. Didalam relasi guru dengan siswa yang baik, siswa akan menyukai gurunya, juga akan menyukai mata pelajaran yang diberikan sehingga siswa mempelajari sebaik-baiknya. Hal tersebut juga terjadi sebaliknya jika siswa membenci gurunya, ia segan mempelajari mata pelajaran yang diberikannya akibatnya pelajaran menjadi tidak maju. Guru yang kurang berinteraksi dengan siswa secara akrab, menyebabkan proses belajar mengajar kurang lancar. Juga siswa merasa jauh dengan guru , maka ia segan untuk ikut berpartisipasi secara aktiv dalam proses belajar.
F. Cara Mengatasi Kekerasan dalam Dunia Pendidikan
1.      Bagi Sekolah
a)      Menerapkan pendidikan tanpa kekerasan di sekolah.
b)      Pendidikan tanpa kekerasan adalah suatu pendidikan yang ditujukan pada anak dengan mengatakan “tidak” pada kekerasan dan menentang segala bentuk kekerasan. Dalam menanamkan pendidikan tanpa kekerasan di sekolah, guru dapat melakukannya dengan menjalin komunikasi yang efektif dengan siswa, mengenali potensi-potensi siswa, menempatkan siswa sebagai subjek pembelajaran, guru memberikan kebebasan pada siswa untuk berkreasi dan guru menghargai siswa sesuai dengan talenta yang dimiliki siswa (Susilowati, 2007).
c)      Hukuman yang diberikan, berkorelasi dengan tindakan anak. Ada sebab ada akibat, ada kesalahan dan ada konsekuensi tanggung jawabnya. Dengan menerapkan hukuman yang selaras dengan konsekuensi logis tindakan siswa yang dianggap keliru, sudah mencegah pemilihan / tindakan hukuman yang tidak rasional.
d)     Sekolah terus mengembangkan dan membekali guru baik dengan wawasan / pengetahuan, kesempatan untuk punya pengalaman baru, kesempatan untuk mengembangkan kreativitas mereka. Guru juga membutuhkan aktualisasi diri, tidak hanya dalam bentuk materi, status, dsb. Guru juga senang jika diberi kesempatan untuk menuangkan aspirasi, kreativitas dan mencoba mengembangkan metode pengajaran yang menarik tanpa keluar dari prinsip dan nilai-nilai pendidikan. Selain itu, sekolah juga bisa memberikan pendidikan psikologi pada para guru untuk memahami perkembangan anak serta dinamika kejiwaan secara umum. Dengan pendekatan psikologi, diharapkan guru dapat menemukan cara yang lebih efektif dan sehat untuk menghadapi anak didik.
e)      Konseling. Bukan hanya siswa yang membutuhkan konseling, tapi guru pun mengalami masa-masa sulit yang membutuhkan dukungan, penguatan, atau pun bimbingan untuk menemukan jalan keluar yang terbaik.
f)       Segera memberikan pertolongan bagi siapapun yang mengalami tindakan kekerasan di sekolah, dan menindaklanjuti kasus tersebut dengan cara adekuat.
g)      Sekolah yang ramah bagi siswa merupakan sekolah yang berbasis pada hak asasi, kondisi belajar mengajar yang efektif dan berfokus pada siswa, dan memfokuskan pada lingkungan yang ramah pada siswa. Menurut Rini (2008), perlu di kembangkan pembelajaran yang humanistik yaitu model pembelajaran yang menyadari bahwa belajar bukan merupakan konsekuensi yang otomatis namun membutuhkan keterlibatan mental, dan berusaha mengubah suasana belajar menjadi lebih menyenangkan dengan memadukan potensi fisik dan psikis siswa.
  1. Bagi siswa yang mengalami kekerasan
Segera sharing pada orangtua atau guru atau orang yang dapat dipercaya mengenai kekerasan yang dialaminya sehingga siswa tersebut segera mendapatkan pertolongan untuk pemulihan kondisi fisik dan psikisnya.





BAB III
PENUTUP

  1. Kesimpulan
Proses belajar mengajar sangat dipengaruhi oleh relasi antara guru dengan siswa yang aada dalam proses belajar itu sendiri. Didalam relasi guru dengan siswa yang baik, siswa akan menyukai gurunya, juga akan menyukai mata pelajaran yang diberikan sehingga siswa mempelajari sebaik-baiknya. Hal tersebut juga terjadi sebaliknya jika siswa membenci gurunya, ia segan mempelajari mata pelajaran yang diberikannya akibatnya pelajaran menjadi tidak maju. Guru yang kurang berinteraksi dengan siswa secara akrab, menyebabkan proses belajar mengajar kurang lancar. Juga siswa merasa jauh dengan guru , maka ia segan untuk ikut berpartisipasi secara aktiv dalam proses belajar.

  1. Kritik dan Saran


DAFTAR PUSTAKA

Buku :
Karsidi, Ravik. 2005. Sosiologi Pendidikan. Surakarta : LPP UNS dan UNS Press
Rusman. 2012. Model-model pembelajaran : mengembangkan profesionalisme guru. Jakarta : RajaGrafindo Persada
Slameto. 2010. Belajar dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.Jakarta : Rineka Cipta
Sudjana , Nana. 2011. Dasar-dasar proses belajar mengajar. Bandung : Sinar Baru Algesindo

Internet :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar