BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Kekerasan Terhadap Siswa
Kekerasan pada siswa adalah suatu
tindakan keras yang dilakukan terhadap siswa di sekolah dengan dalih
mendisiplinkan siswa (Charters dalam Anshori, 2007).
Ada
beberapa bentuk kekerasan yang umumnya dialami siswa.
o
Kekerasan fisik : kekerasan fisik
merupakan suatu bentuk kekerasan yang dapat mengakibatkan luka atau cedera pada
siswa, seperti memukul, menganiaya, dll.
o
Kekerasan psikis : kekerasan secara
emosional dilakukan dengan cara menghina, melecehkan, mencela atau melontarkan
perkataan yang menyakiti perasaan, melukai harga diri, menurunkan rasa percaya
diri, membuat orang merasa hina, kecil, lemah, jelek, tidak berguna dan tidak
berdaya.
o
Kekerasan defensive :
kekerasan defensive dilakukan dalam
rangka tindakan perlindungan, bukan tindakan penyerangan (Rini, 2008).
o
Kekerasan agresif : kekerasan
agresif adalah kekerasan yang dilakukan untuk mendapatkan sesuatu seperti
merampas, dll (Rini, 2008).
B.
Faktor
Penyebab Kekerasan dalam Dunia Pendidikan
Kekerasan
yang terjadi dalam dunia pendidikan dapat terjadi karena beberapa faktor,
yaitu:
1. Guru
Ada beberapa faktor yang menyebabkan
guru melakukan kekerasan pada siswanya, yaitu:
a) Kurangnya pengetahuan bahwa
kekerasan baik fisik maupun psikis tidak efektif untuk memotivasi siswa atau
merubah perilaku, malah beresiko menimbulkan trauma psikologis dan melukai
harga diri siswa.
b) Persepsi yang parsial dalam menilai
siswa. Bagaimana pun juga, setiap anak punya konteks kesejarahan yang tidak
bisa dilepaskan dalam setiap kata dan tindakan yang terlihat saat ini, termasuk
tindakan siswa yang dianggap “melanggar” batas. Apa yang terlihat di permukaan,
merupakan sebuah tanda / sign dari
masalah yang tersembunyi di baliknya. Yang terpenting bukan sebatas “menangani”
tindakan siswa yang terlihat, tapi mencari tahu apa yang melandasi tindakan /
sikap siswa.
c) Adanya masalah psikologis yang
menyebabkan hambatan dalam mengelola emosi hingga guru yang
bersangkutan
menjadi lebih sensitif dan reaktif.
d) Adanya tekanan kerja : target yang
harus dipenuhi oleh guru, baik dari segi kurikulum, materi maupun prestasi yang
harus dicapai siswa didiknya sementara kendala yang dirasakan untuk mencapai
hasil yang ideal dan maksimal cukup besar.
e) Pola authoritarian masih umum digunakan dalam pola pengajaran di
Indonesia. Pola authoritarian
mengedepankan faktor kepatuhan dan ketaatan pada figure otoritas sehingga pola
belajar mengajar bersifat satu arah (dari guru ke murid). Implikasinya, murid
kurang punya kesempatan untuk berpendapat dan berekspresi. Dan, pola ini bisa
berdampak negatif jika dalam diri sang guru terdapat insecurity yang
berusaha di kompensasi lewat penerapan kekuasaan.
f) Muatan kurikulum yang menekankan
pada kemampuan kognitif dan cenderung mengabaikan kemampuan afektif (Rini,
2008). Tidak menutup kemungkinan suasana belajar jadi “kering” dan stressful,
dan pihak guru pun kesulitan dalam menciptakan suasana belajar mengajar yang
menarik, padahal mereka dituntut mencetak siswa-siswa berprestasi.
2. Siswa
Salah satu factor yang bisa ikut
mempengaruhi terjadinya kekerasan, adalah dari sikap siswa tersebut. Sikap
siswa tidak bisa dilepaskan dari dimensi psikologis dan kepribadian siswa itu
sendiri. Kecenderungan sadomasochism tanpa sadar bisa melandasi
interaksi antara siswa dengan pihak guru, teman atau kakak kelas atau adik
kelas. Perasaan bahwa dirinya lemah, tidak pandai, tidak berguna, tidak
berharga, tidak dicintai, kurang diperhatikan, rasa takut diabaikan, bisa saja
membuat seorang siswa clinging pada powerful / authority
figure dan malah “memancing” orang tersebut untuk actively
responding to his / her need meskipun dengan cara yang tidak sehat.
Contohnya, tidak heran jika anak berusaha mencari perhatian dengan bertingkah
yang memancing amarah, agresifitas atau pun hukuman. Tapi, dengan demikian,
tujuannya tercapai, yakni mendapat perhatian. Sebaliknya, bisa juga perasaan
inferioritas dan tidak berharga di kompensasikan dengan menindas pihak lain
yang lebih lemah supaya dirinya merasa hebat.
3. Keluarga
Kekerasan yang dilakukan baik oleh
guru maupun siswa, perlu juga dilihat dari factor kesejarahan mereka.
a. Pola Asuh
Anak yang dididik dalam pola asuh yang indulgent, highly
privilege (orang tua sangat memanjakan anak dan memmenuhi semua keinginan
anak), tumbuh dengan lack of internal control and lack of sense of
responsibility. Mengapa? Dengan memenuhi semua keinginan dan tuntutan
mereka, anak tidak belajar mengendalikan impulse, menyeleksi dan
menyusun skala prioritas kebutuhan, dan bahkan tidak belajar mengelola emosi.
Ini jadi bahaya karena anak merasa jadi raja dan bisa melakukan apa saja yang
ia inginkan dan bahkan menuntut orang lain melakukan keinginannya. Jadi anak
akan memaksa orang lain untuk memenuhi kebutuhannya, dengan cara apapun juga
asalkan tujuannya tercapai. Anak juga tak memiliki sense of responsibility
karena kemudahan yang ia dapatkan, membuat anak tidak berpikir action-consequences,
aksi reaksi, kalau mau sesuatu ya harus berusaha. Anak di sekolah
ingin dapat nilai bagus tapi tidak mau belajar, akhirnya mencontek, atau
memaksa siswa lain memberi contekan dengan ancaman.
b. Orangtua mengalami masalah psikologis
Jika orangtua mengalami masalah psikologis
yang berlarut-larut, bisa mempengaruhi pola hubungan dengan anak. Misalnya,
orang tua yang stress berkepanjangan, jadi sensitif, kurang sabar dan
mudah marah pada anak, atau melampiaskan kekesalan pada anak. Lama kelamaan
kondisi ini mempengaruhi kehidupan pribadi anak. Ia bisa kehilangan semangat,
daya konsentrasi, jadi sensitif, reaktif, cepat marah, dsb.
c. Keluarga disfungsional
Keluarga yang mengalami disfungsi
punya dampak signifikan terhadap sang anak. Keluarga yang salah satu anggotanya
sering memukul, atau menyiksa fisik atau emosi, intimidasi anggota keluarga
lain; atau keluarga yang sering konflik terbuka tanpa ada resolusi, atau
masalah berkepanjangan yang dialami oleh keluarga hingga menyita energy psikis
dan fisik, hingga mempengaruhi interaksi, komunikasi dan bahkan kemampuan
belajar, kemampuan kerja beberapa anggota keluarga yang lain. Situasi demikian
mempengaruhi kondisi emosi anak dan lebih jauh mempengaruhi perkembangan
kepribadiannya. Sering dijumpai siswa “bermasalah”, setelah diteliti ternyata
memiliki latar belakang keluarga yang disfungsional.
4. Lingkungan
Tak dapat dipungkiri bahwa kekerasan
yang terjadi selama ini juga terjadi karena adanya faktor lingkungan, yaitu:
a. Adanya budaya kekerasan : seseorang
melakukan kekerasan karena dirinya berada dalam suatu kelompok yang sangat
toleran terhadap tindakan kekerasan. Anak yang tumbuh dalam lingkungan tersebut
memandang kekerasan hal yang biasa / wajar.
b. Mengalami sindrom Stockholm
: Sindrom Stockholm merupakan suatu kondisi psikologis dimana antara pihak
korban dengan pihak aggressor terbangun hubungan yang positif dan later
on korban membantu aggressor mewujudkan keinginan mereka.
c. Tayangan televisi yang banyak berbau
kekerasan : Jika seseorang terlalu sering menonton tayangan kekerasan maka akan
mengakibatkan dirinya terdorong untuk mengimitasi perilaku kekerasan yang ada
di televisi. Sebab, dalam tayangan tersebut menampilkan kekerasan yang
diasosiasikan dengan kesuksesan, kekuatan dan kejayaan seseorang. Akibatnya,
dalam pola berpikir muncul premis bahwa jika ingin kuat dan ditakuti, pakai
jalan kekerasan.
C.
Guru
Profesional
Profesionalisme berasal dari kata profesi yang
artinya suatu bidang pekerjaan yang ingin atau akan ditekuni seseorang.
(Webster, 1989). Secara etimologi, istlah profesi berasal dari bahasa inggris,
yaitu profession atau bahasa latin profecus, yang artinya mengakui, adanya
pengakuan, menyatakan mampu atau ahli dalam melakukan suatu pekerjaan.
Menurut Martins Yamin (2007), profesi memiliki
pengertian seseorang yang menekuni pekerjaan berdasarkan keahlian, kemampuan,
tehnik, dan prosedur berdasarkan intelektualitas.
Sedangkan menurut Jasin Muhammad (dalam Yunus Namsa,
2006), profesi adalah suatu lapangan pekerjaan yang dalam melakukan tugasnya
memerlukan tehnik dan prosedur ilmiah, memiliki dedikasi, serta cara menyikapi
lapangan pekerjaan yang berorientasi pada pelayanan yang ahli.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa profesi adalah suatu
bidang pekerjaan atau keahlian tertentu yang mensyaratkankompetensi
intelektualitas, sikap dan keterampilan tertentu yang diperoleh melalui proses
pendidikan secra akademis yang intensif.
Menurut Uzer Usman (1992), suatu pekerjaan yang
professional memerlukan beberapa bidang ilmu yang secara sengaja harus dipelajari
dan kemudain diaplikasikan bagi
kepentingan umum.
H.A.R Tilaar (2006 : 86), menjelaskan bahwa
seseorang professional menjalankan pekerjaannya sesuai dengan tuntutan profesi
atau dengan kata lain memiliki kemampuan atau sikap sesuai dengan tuntutan
profesinya.
Jadi, profesionalisme mengarah pada komitmen para
anggota suatu profesi untuk meningkatkan kemampuan profesionalismenya dan
terus-menerus mengembangkan strategi-strategi yang digunakannya dalam melakukan
pekerjaan yang sesuai dengan profesi yang diembannya.
Jadi, Profesionalisme guru merupakan kondisi, arah, nilai,
tujuan, dan kualitas suatu keahlian dan kewenangan dalam bidang pendidikan dan
pembelajaran yang berkaitan dengan pekerjaan seorang yang menjadi mata
pencaharian. Jadi dapat disimpulkan bahwa guru professional adalah orang yang
memiliki kemampuan dan keahlian khusus dalam bidang keguruan, sehingga ia mampu
untuk melakukan tugasdan fungsinya sebagai guru dengan maksimal.
D. Peranan Guru di Sekolah
Dalam
ilmu sosiologi, kita biasa menemukan dua istilah yang akan slalu berkaitan,
yaitu status dan peran. Status biasanya didefinisikan sebagai suatu posisi
seseorang dalam suatu kelompok. Sedangkan peran merupakan sebuah perilaku yang
diharapkan dari seseorang yang memiliki status tertentu.
Status
sebagai guru dapat dipandang sebagai yang tinggi atau rendah, tergantung dimana
ia berada. Peran seorang guru yang berkedudukan sebagai pendidik seharusnya
melakukan perbuatan yang layak sesuai harapan masyarakat dan guru diharapkan
berperan sebagai teladan dan rujukan dalam masyarakat dan khususnya anak didik
yang ia ajar.
E. Kode Etik Guru
Pada Bagian Satu, Pasal 6 menyebutkan bahwa hubungan
guru dengan peserta didik adalah sebagai berikut :
a.
Guru
berprilaku secara professional dalam melaksanakan tugas didik, mengajar,
membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi proses dan hasil
pembelajaran.
b.
Guru
membimbing peserta didik untuk memahami, mengahayati dan mengamalkan hak-hak
dan kewajiban sebagai individu, warga sekolah dan masyarakat.
c.
Guru
memberikan pandangan professional, menjunjung tinggi nilai agama, hukum, moral
dan kemanusiaan dalam berhubungan dengan masyarakat.
Proses belajar mengajar sangat dipengaruhi oleh
relasi antara guru dengan siswa yang aada dalam proses belajar itu sendiri.
Didalam relasi guru dengan siswa yang baik, siswa akan menyukai gurunya, juga
akan menyukai mata pelajaran yang diberikan sehingga siswa mempelajari
sebaik-baiknya. Hal tersebut juga terjadi sebaliknya jika siswa membenci
gurunya, ia segan mempelajari mata pelajaran yang diberikannya akibatnya
pelajaran menjadi tidak maju. Guru yang kurang berinteraksi dengan siswa secara
akrab, menyebabkan proses belajar mengajar kurang lancar. Juga siswa merasa
jauh dengan guru , maka ia segan untuk ikut berpartisipasi secara aktiv dalam
proses belajar.
F. Cara Mengatasi
Kekerasan dalam Dunia Pendidikan
1. Bagi Sekolah
a) Menerapkan pendidikan tanpa
kekerasan di sekolah.
b) Pendidikan tanpa kekerasan adalah
suatu pendidikan yang ditujukan pada anak dengan mengatakan “tidak” pada
kekerasan dan menentang segala bentuk kekerasan. Dalam menanamkan pendidikan
tanpa kekerasan di sekolah, guru dapat melakukannya dengan menjalin komunikasi
yang efektif dengan siswa, mengenali potensi-potensi siswa, menempatkan siswa
sebagai subjek pembelajaran, guru memberikan kebebasan pada siswa untuk
berkreasi dan guru menghargai siswa sesuai dengan talenta yang dimiliki siswa
(Susilowati, 2007).
c) Hukuman yang diberikan, berkorelasi
dengan tindakan anak. Ada sebab ada akibat, ada kesalahan dan ada konsekuensi
tanggung jawabnya. Dengan menerapkan hukuman yang selaras dengan konsekuensi
logis tindakan siswa yang dianggap keliru, sudah mencegah pemilihan / tindakan
hukuman yang tidak rasional.
d) Sekolah terus mengembangkan dan
membekali guru baik dengan wawasan / pengetahuan, kesempatan untuk punya
pengalaman baru, kesempatan untuk mengembangkan kreativitas mereka. Guru juga
membutuhkan aktualisasi diri, tidak hanya dalam bentuk materi, status, dsb.
Guru juga senang jika diberi kesempatan untuk menuangkan aspirasi, kreativitas
dan mencoba mengembangkan metode pengajaran yang menarik tanpa keluar dari
prinsip dan nilai-nilai pendidikan. Selain itu, sekolah juga bisa memberikan
pendidikan psikologi pada para guru untuk memahami perkembangan anak serta
dinamika kejiwaan secara umum. Dengan pendekatan psikologi, diharapkan guru
dapat menemukan cara yang lebih efektif dan sehat untuk menghadapi anak didik.
e) Konseling. Bukan hanya siswa yang
membutuhkan konseling, tapi guru pun mengalami masa-masa sulit yang membutuhkan
dukungan, penguatan, atau pun bimbingan untuk menemukan jalan keluar yang
terbaik.
f) Segera memberikan pertolongan bagi
siapapun yang mengalami tindakan kekerasan di sekolah, dan menindaklanjuti
kasus tersebut dengan cara adekuat.
g) Sekolah yang
ramah bagi siswa merupakan sekolah yang berbasis pada hak asasi, kondisi
belajar mengajar yang efektif dan berfokus pada siswa, dan memfokuskan pada
lingkungan yang ramah pada siswa. Menurut Rini (2008), perlu di kembangkan
pembelajaran yang humanistik yaitu model pembelajaran yang menyadari bahwa
belajar bukan merupakan konsekuensi yang otomatis namun membutuhkan
keterlibatan mental, dan berusaha mengubah suasana belajar menjadi lebih
menyenangkan dengan memadukan potensi fisik dan psikis siswa.
- Bagi siswa yang mengalami kekerasan
Segera sharing
pada orangtua atau guru atau orang yang dapat dipercaya mengenai kekerasan yang
dialaminya sehingga siswa tersebut segera mendapatkan pertolongan untuk
pemulihan kondisi fisik dan psikisnya.
BAB
III
PENUTUP
- Kesimpulan
Proses belajar mengajar sangat dipengaruhi oleh
relasi antara guru dengan siswa yang aada dalam proses belajar itu sendiri.
Didalam relasi guru dengan siswa yang baik, siswa akan menyukai gurunya, juga
akan menyukai mata pelajaran yang diberikan sehingga siswa mempelajari
sebaik-baiknya. Hal tersebut juga terjadi sebaliknya jika siswa membenci
gurunya, ia segan mempelajari mata pelajaran yang diberikannya akibatnya
pelajaran menjadi tidak maju. Guru yang kurang berinteraksi dengan siswa secara
akrab, menyebabkan proses belajar mengajar kurang lancar. Juga siswa merasa
jauh dengan guru , maka ia segan untuk ikut berpartisipasi secara aktiv dalam
proses belajar.
- Kritik dan Saran
DAFTAR
PUSTAKA
Buku :
Karsidi,
Ravik. 2005. Sosiologi Pendidikan.
Surakarta : LPP UNS dan UNS Press
Rusman. 2012. Model-model pembelajaran : mengembangkan
profesionalisme guru. Jakarta : RajaGrafindo Persada
Slameto. 2010. Belajar dan faktor-faktor yang
mempengaruhinya.Jakarta : Rineka Cipta
Sudjana , Nana.
2011. Dasar-dasar proses belajar mengajar.
Bandung : Sinar Baru Algesindo
Internet :
http://wiwitna.blogspot.com/2013/03/maraknya-kasus-kekerasan-di-dunia.html,
diakses pada tanggal 20 April 2014.
http://bluelumut.blogspot.com/2009/06/makalah-kekerasan-dalam-dunia.html,
diakses pada tanggal20 April 2014.
http://www.harianhaluan.com/index.php/berita/rubrik-daerah/13772-tindak-kekerasan-pada-anak-berdampak-psikologis,
diakses pada tanggal 20 April 2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar